Reproduksi Terganggu, Produktivitas Tak Menentu

Reproduksi Terganggu, Produktivitas Tak Menentu

Reproduksi Terganggu, Produktivitas Tak Menentu

 

((Harga telur naik semua pihak panik. Kondisi seperti ini sudah menjadi “makanan sehari – hari” dalam kurun waktu sebulan ini.  Namun, sebenarnya ada faktor yang lebih krusial yang mempengaruhinya, misalnya saja penurunan performans yang berujung pada penurunan produktivitas akibat gangguan reproduksi.))

Dalam dunia perunggasan, ayam petelur modern seringkali dijuluki mesin biologis yang paling produktif karena kemampuan bertelurnya. Sayangnya, mesin juga tidak selamanya berfungsi dengan baik, acap kali terjadi “kerusakan” yang menyebabkan produktivitasnya menurun.

Dalam satu tahun berpotensi menghasilkan lebih dari 300 butir telur. Artinya hampir satu hari sekali ayam tersebut bertelur. Tentunya jika diibaratkan sebuah mesin, produktivitasnya sangat tinggi.

Namun, mesin yang paling sempurna sekalipun pasti punya kekurangan, bilamana ayam mengalami gangguan kesehatan sudah pasti gejala utama yang akan terlihat adalah menurunnya produksi telur. Hal ini akan sangat merugikan bagi peternak yang berharap pundi-pundi rupiah dari produksi telur.

 

Karakteristik Ayam Petelur Modern

Seperti yang disampaikan oleh Erwan Julianto, Technical Ser­vice Manager Indonesia dan Filipina Hendrix Genetics, berdasarkan data yang diperoleh di lapangan pada 2017, dengan standar usia produktif, layer ISA Brown dan Hisex Brown (90 minggu) mampu menghasilkan 429 butir telur kualitas utama. Target ini akan terus meningkat sampai 100 minggu di 2020.

“Setiap tahun perkembangannya selalu mengalami kemajuan. Hingga 2017 ini perkembangannya sangat memuaskan, karena hingga kini rata-rata FCR berada pada angka 2,14 kita targetkan di 2020 meningkat menjadi 2,07,” ujar Erwan. Hal ini menunjuk­kan pencapaian efisiensi pakan dari ayam ISA Brown dan Hisex Brown semakin baik dan kualitas telurnya pun dijamin prima.

Ia melanjutkan, bukan hanya perusahaannya saja yang memiliki ayam petelur dengan produktivitas yang tinggi, semua perusahaan juga kini berlomba-lomba dalam bidang genetik untuk menghasilkan ayam petelur yang produktif.

Pendapat Erwin juga diamini oleh ahli genetika unggas yang juga dosen peneliti Balai Penelitian Ternak Ciawi, Prof Sofyan Iskandar. Walaupun banyak berkutat di ranah yang berbeda (pemuliaan genetik ayam lokal), namun Sofyan mengakui bahwa memang ayam petelur baik komersil dan breeder adalah spesies ayam yang sangat produktif.

“Ayam ras petelur baik breeder maupun komersil penelitiannya sudah berlangsung selama seabad lebih, sehingga genetiknya dibuat sedemikian rupa agar dapat menghasilkan telur yang sangat banyak pastinya dong!,” tutur Prof Sofyan.

Pria asal Bogor tersebut juga menyatakan bahwa sebetulnya walaupun produktivitas dari ayam petelur modern sangat tinggi, mereka memiliki kelemahan dari segi kerentanan akan penyakit. “Saya yakin bahwa tidak ada mahluk hidup yang paling unggul (superior), pasti ada kelemahannya, nah kompensasi dari produktivitas yang tinggi ayam modern ini lebih rentan terhadap penyakit. Karena dalam ilmu genetika, jika ada salah satu gen yang dominan, pastinya ada yang resesif begitu,” pungkasnya.

 

Ketika Produktivitas Terganggu

Pada umumnya apabila seekor ayam petelur maupun breeder terserang oleh penyakit, gejala umum yang akan tampak yakni penurunan kualitas dan produksi telur. Peternak dengan sistem recording yang baik tentunya akan sangat mudah mengidentifikasi hal tersebut. Namun jika ditemukan gejala-gejala klinis lainnya (selain penurunan produksi dan kualitas telur apalagi kematian), tentunya penyakit sudah berjalan dalam waktu yang cukup lama.

Newcastle Disease (ND), Avian Influenza (AI), Infectious Bronchitis (IB) dan Egg Drop Syndrome (EDS) masih menjadi penyakit infeksius langganan yang sering menghantui peternak ayam petelur. Keempat penyakit tadi merupakan penyakit infeksius yang disebabkan oleh agen berupa virus. Jika masih sering terjadi kasus dan sering menghantui, artinya keberadaan agen penyebab penyakit masih “eksis” di sekitar peternakan.

Pada perkembangannya, virus AI memiliki dua mekanisme dalam merusak organ reproduksi ayam, yaitu dengan pembendungan pembuluh darah di ovarium dan rusaknya permukaan ovarium pada saat budding exit atau keluarnya virus dari sel. Kedua mekanisme ini akan mengakibatkan penurunan produksi telur.

Sedangkan kerusakan pada organ reproduksi akibat ND berupa ovarium yang mengecil, selaput telur membengkak dan terjadi perdarahan. Begitu juga pada infeksi virus EDS, oviduk menjadi kendur dan terdapat oedema  pada jaringan subserosa-nya. Pada kasus serangan IB, ovarium tidak berkembang, konsistensinya melunak seperti bubur, mengalami perdarahan, membengkak dan lembek. Selain itu, sering dijumpai kasus pecahnya kuning telur pada rongga perut. Kasus cyctic oviduct juga semakin meningkatkan keparahan serangan IB.

Kerusakan atau gangguan pada sistem reproduksi akibat infeksi salah satu penyakit penurun produksi telur tersebut akan mengakibatkan produksi telur menurun, baik secara kuantitas (jumlah) atau kualitas (mutu). Penurunan produksi telur akibat serangan virus ND bisa mencapai 100%, IB berkisar 10-50%, EDS menurun 20-40% dan AI bisa mencapai 80%.

Kerabang telur menjadi kasar, tipis, lembek dan pigmentasi warnanya berkurang bisa disebabkan oleh serangan keempat penyakit tersebut. Selain itu, bentuk telur menjadi tidak normal atau lebih kecil. Pada serangan IB, perubahan pada kualitas telur akan nampak secara jelas saat telur dipecahkan. Konsistensi atau kekentalan putih telur menjadi lebih encer akibat infeksi virus IB.

Selain penurunan produktivitas dan kualitas telur, beberapa gejala umum akibat keempat penyakit tadi biasanya berupa gangguan pernafasan, seperti batuk, susah bernapas, ngorok dan lendir keluar dari hidung. Apabila dilakukan nekropsi, peradangan bahkan perdarahan pada saluran pernafasan adalah hal yang umum ditemukan. Jika perdarahan atau peradangan terjadi di trakea bagian bawah (mendekati bronchus) besar kemungkinan penyebabnya ialah serangan virus IB. Disamping gangguan pernafasan akan ditemukan juga gangguan pencernaan, saraf, atau kerusakan pada organ pendukung lain yang mencirikan sifat keempat penyakit tadi.

Singkatnya sifat dari keempat penyakit infeksius tersebut dapat dilihat pada table di bawah ini:

 

Perbedaan Sifat antara Penyakit ND, EDS, IB dan AI

Parameter

ND

EDS

IB

AI

Penularan

Cepat

Lambat

Cepat

Cepat

Lama gejala

2 Minggu

6-10 Minggu

2 Minggu

HPAI: < 3 Hari

LPAI: 2- 12 Hari

Penurunan produksi telur

s/d 100%

20-40%

10-50%

80%

Kematian pada DOC

25-90%

Hampir 0

4-40%

100%

Kematian pada ayam dewasa

90-100%

Hampir 0

Hampir 0

100%

Uji Serologis

Netralisasi Serum (SN), ELISA, HI

Netralisasi Virus (VN), ELISA, HI

Flouresence Antibody Test (FAT), ELISA, HI

HI, ELISA

Sumber: Medion, 2015.

 

Selain faktor infeksius, jangan pula lupa akan faktor non-infeksius yang juga dapat mempengaruhi performa dan produktivitas reproduksi ayam. Faktor nutrisi misalnya, pakan yang tidak dapat memenuhi kebutuhan nutrisi ayam tidak akan menghasilkan performa produksi yang baik. Belum lagi faktor stres yang bisa diakibatkan oleh suhu, sirkulasi udara, dan lain sebagainya.

Menurut Budi Purwanto, Konsultan Kesehatan Hewan Senior dari PT Medion, ternak yang berada dalam kondisi nyaman performanya akan aman. Artinya, menurut Budi, adalah ketika semua kebutuhan hidup terpenuhi, dengan sendirinya ternak akan produktif. “Seperti manusia saja, kita kalau makan enak dan bergizi, tidur cukup, rumah nyaman dan nggak stres aman toh? Ternak yo podo,” kata Budi.

Lebih lanjut, jika ayam diibaratkan mesin dengan performa tinggi, tentunya perawatannya juga harus maksimal. Oleh karenanya ia menghimbau peternak agar me-manage peternakannya dengan baik. “Nggak usah maksa closed house kalau memang belum mampu, maksimalkan saja yang ada, biosekuriti-lah atau manajemen pemeliharaannya diperbaiki, atau apa yang bagus-bagus dilakukan untuk menjaga performa,” ucap pria kelahiran Purbalingga itu.

Ia menambahkan, “Terlebih lagi di era non-AGP seperti sekarang ini, dimana kebanyakan peternak mengeluh performa dari ternaknya turun, tentunya kita harus berusaha ekstra keras dalam menjaga performans ternak kita”.

 

Identifikasi Sampai Jelas, Agar Penyakit Bablas!

Karena kebanyakan penyakit gangguan reproduksi gejalanya hanya begitu-begitu saja (penurunan kualitas dan produktivitas), dibutuhkan langkah lebih lanjut dalam mengidentifikasinya, misalnya saja dengan melakukan uji laboratorium.

Bagi peternak, hal ini banyak yang menyebut “ribet bin njelimet”, namun dalam dunia medis, diagnosis yang tepat menghasilkan treatment yang tepat serta hasil yang tepat pula. Sayangnya, tidak semua peternak mau melakukannya. Beragam alasan seringkali didengar oleh awak Infovet di lapangan, mulai dari malas, menunggu hasil yang terlalu lama, hingga alasan takut mengeluarkan rupiah lebih untuk keperluan uji lab.

Padahal faktanya, menurut data British Veterinary Association (BVA), lebih dari 80% penyakit infeksius pada ternak unggas dapat disembuhkan setelah menjalani berbagai uji laboratorium. Uji laboratorium sudah menjadi sebuah keharusan di negara-negara maju dalam menentukan treatment apa yang akan diberikan pada hewan selanjutnya.

Berbeda 180 derajat dengan keadaan disini, dimana kebanyakan peternak serampangan dalam pemeliharaan terutama mengenai masalah kesehatan hewan. Tanpa pengawalan yang baik, jika ayam-ayam mereka terlihat sakit, mereka dengan inisiatif tinggi seketika memberikan antibiotik yang mudah dibeli di poultry shop sekitar.

Pernah suatu ketika di lapangan awak Infovet melihat peternak yang enggan ayamnya diambil sampel organnya oleh Technical Representative (TS) suatu perusahaan obat hewan untuk diujikan di laboratorium hanya karena malas menunggu hasilnya, padahal tidak dikenakan biaya oleh TS tersebut.

Hal ini harusnya menjadi semacam motivasi lebih bagi dunia peternakan dalam membenahi diri. Selama ini ternyata banyak peternak belum teredukasi dengan baik, sehingga siklus mata rantai penyakit infeksius di Indonesia masih sulit dikendalikan. (CR)

Sumber: www.majalahinfovet.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>