Motivasi: Roti dan Komedi

Roti & Komedi_3

Roti dan Komedi

Perlu sebuah komedi agar semua orang dengan bangga memakai produk dalam negeri

Saat menyampaikan pandangan di depan peserta acara peluncuran buku “Berjuang Untuk Mencapai Puncak” karya Dr. drh. Soehadji dan Seminar Nasional Perunggasan yang diselenggarakan Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI), Soehadji menyampaikan sebuah pepatah, “Dalam hidup ini, selain roti, kita juga butuh komedi”.
Jika tak salah, pepatah tersebut berasal dari seorang tokoh Rusia. Komedi di sini bukan lawak, sedangkan roti yang dimaksud juga bukan sekadar makanan pokok. Ini adalah petuah bahwa dalam meraih tujuan hendaknya tidak “to the point”. Harus ada kemasan yang menarik agar sebuah ide menjadi lebih cemerlang.
Setiap tahun ASOHI menyelenggarakan Seminar Nasional Perunggasan yang menyajikan topik kinerja perunggasan tahunan dan prediksi di tahun yang akan datang. Topik itu adalah “roti” dari seminar tersebut. Apakah cukup dengan itu?
Ternyata tidak. Dibutuhkan komedi agar khalayak di luar sana bisa ikut merasakan pentingnya seminar tersebut. Oleh karena itu, setiap tahun, ASOHI mengundang pembicara tamu yang diutamakan tokoh dari luar perunggasan. Beberapa tokoh yang pernah hadir antara lain pakar ekonomi Faisal Basri, Direktur Bogasari Fransiscus Wellirang, tokoh nasional Siswono Yudho Husodo, Wakil Ketua Kadin Bambang Sujagad, pakar internasional Gordon Burtland dan tokoh lainnya. Dengan mengundang tokoh ini, perunggasan tidak hanya dipotret dari sisi orang dalam, melainkan juga dari luar.
Fanciscus Wellirang, misalnya, menyorot perkembangan kulinologi perunggasan yang berkembang lambat. Olahan ayam baru sebatas ayam goreng, ayam bakar, nugget, dan sejenisnya. Itu pun dengan pasar yang masih kecil dibandingkan penjualan ayam hidup. Jauh ketinggalan dibandingkan susu dengan aneka ragam olahannya.
Siswono menyoroti kaitan kebijakan nasional dengan dunia pertanian dan peternakan. Faisal Basri menyorot trend ekonomi nasional, Sementara Gordon Burtland menyoroti perunggasan Indonesia dalam perspektif global.
Namun, itu pun komedi yang baru berputar di sekitar dunia unggas. Kita perlu mengemas permasalahan komoditas unggas menjadi lebih atraktif. Soehadji mengusulkan perlunya usaha perunggasan dikaitkan dengan sistem logistik nasional.
Diketahui bahwa sistem logistik indonesia jauh tertinggal dibandingkan negara tetangga. Hal ini menyebabkan harga jual ayam di tingkat peternak (farm gate price) terpaut jauh dibandingkan harga di konsumen. Kondisi ini disebabkan pergerakan barang di Indonesia memakan biaya lebih dari 20%, sedangkan di negara lain hanya sekitar 5%.
Menurut Soehadji, jika kalangan perunggasan bisa mengemas isu sistem logistik perunggasan menjadi isu nasional, hal ini akan menjadi ‘komedi’ yang sangat bermakna bagi kalangan perunggasan itu sendiri.
Bagi para praktisi Public Relation (PR) dan marketing, komedi dapat ditafsirkan sebagai bentuk kreativitas memunculkan gagasan agar mendapat perhatian publik. Ketika peluncuran buku Marketing Revolution, Tung Desem Waringin—penulis buku—menunggangi kuda di sepanjang Jalan Sudirman, Jakarta, untuk mendapat perhatian publik dan wartawan.
Sebelumnya, Tung melakukan promosi di media elektronik dengan penawaran harga diskon 50% bagi pembaca yang melakukan pemesanan buku terlebih dahulu dan membayar di muka, buku bisa diambil setelah terbit. Cara ini memunculkan daya tarik calon pembaca dan akhirnya penerbitan buku tersebut dapat memecahkan rekor Muri sebagai buku marketing terlaris dengan penjualan 11 ribu eksemplar di hari pertama penjualan.
Demikian pula dengan novel Harry Potter karya JK Rowling. Pada saat peluncuran, penjualan pertama di seluruh dunia dilakukan tengah malam dan semua penggemarnya harus antri untuk membeli buku tersebut.
Jika selama ini produk dalam negeri kurang diminati bangsa sendiri, hal ini bukan semata-mata kurangnya keberpihakan pemerintah, melainkan juga soal ‘komedi’-nya yang belum dikemas secara atraktif. Apakah sepatu Cibaduyut dibiarkan sebagai sepatu murahan? Kenapa tidak mendatangkan ahli desain sepatu dunia mengulas persoalan sepatu di Cibaduyut agar semua orang bangga memakai sepatu buatan saudara sebangsa? Perlu sebuah komedi agar semua orang bangga memakai produk dalam negeri.
Kenapa produk pertanian lokal semakin ditinggalkan? Nah, kita bisa membuat ‘komedi’-nya. Carilah ide agar semua orang ingin membantu petani agar lebih efisien. Buatlah isu yang bisa membuat petani menjadi pusat perhatian. Belum ada sebuah ‘komedi’ yang benar-benar membuat masyarakat bangga mengonsumsi produk petani Indonesia. Justru yang terjadi adalah komedi tentang produk impor yang lebih menarik dan murah.
Bukankah kita telah berhasil membuat masyarakat bangga dengan baju batik? Bukankah sepuluh tahun lalu, pakaian batik hanya tampil saat ada hajatan saja?
Dalam kehidupan modern, di mana arus informasi sedemikian banyak dan deras, ‘komedi’ menjadi begitu penting, agar kelak bisa mendapatkan roti.***

Sumber : Buku MENGGALI BERLIAN DI KEBUN SENDIRI -Bambang Suharno

Harga buku : Rp. 90.000 belum termasuk ongkir.

Pesan buku Hubungi:

Wawan : 0856 8800 752
Achmad : 0896 1748 4158

Alamat :
Jln. Rawa Bambu, Gedung ASOHI – Grand Pasar Minggu No.88 A, Jakarta Selatan 12520
Telp : 021-782 9689, Fax : 021-782 0408

No. Rek : PT Gallus Indonesia Utama
BCA : 733 030 1681
MANDIRI : 126 000 2074 119

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>