Motivasi: Pelajaran dari Doraemon

Doraemon_2

Pelajaran dari Doraemon

Jika kamu tidak bisa menaklukkan dirimu, kamu akan ditaklukkan oleh dirimu ~Napoleon Hill

Aku ingin begini, aku ingin begitu, Ingin ini-itu banyak sekali……
Semua semua semua dapat dikabulkan, Dapat dikabulkan dengan kantong ajaib, Aku ingin terbang bebas……di angkasa…..

Bagi Anda yang sering nonton televisi, bait lagu di atas tentu tidak asing lagi. Tayangan serial anak-anak produksi Jepang berjudul Doraemon ini sangat populer di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Doraemon adalah judul sebuah komik Jepang—manga—populer yang dikarang oleh Fujiko F. Fujio sejak tahun 1969. Komik ini berkisah tentang kehidupan seorang anak pemalas kelas 5 SD bernama Nobi Nobita, yang suatu hari didatangi oleh robot kucing bernama Doraemon.
Doraemon datang dari abad ke-22 dan dikirim untuk menolong Nobita agar keturunan Nobita kelak dapat menikmati kesuksesannya, bukan menderita akibat terbebani hutang finansial karena kebodohan Nobita. Setiap kali Nobita gagal dalam ulangan sekolahnya atau setelah diganggu oleh Giant dan Suneo, Nobita mendatangi Doraemon untuk meminta bantuannya.
Doraemon biasa membantu Nobita dengan berbagai peralatan canggih dari kantong ajaibnya. Contoh peralatan Doraemon yang sering digunakan adalah “baling-baling bambu” dan “pintu ke mana saja”. Sayangnya, Nobita justru sering berbuat terlalu jauh saat menggunakan peralatan dari Doraemon dan terjerumus ke dalam masalah yang lebih besar.
Kita sering menginginkan banyak hal. Sementara saat Tuhan memberinya, kita dengan mudah menyalahgunakannya sehingga terjerumus ke masalah yang lebih besar. Itulah kira-kira pesan yang hendak disampaikan oleh Fuiko F. Fujio, sang pengarang Doraemon.
Dalam bahasa ekonomi, keinginan dibedakan dengan kebutuhan. Contohnya, kita “membutuhkan (need)” kendaraan untuk transportasi dari rumah ke kantor. Namun, kita “menginginkan (want)” mobil yang bagus seharga satu miliar lebih, meskipun kantong masih cekak.
Setiap orang memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Dengan cerdas, Abraham Maslow membuat hierarki kebutuhan, yang dikenal sebagai Teori Maslow. Menurutnya, kebutuhan terbagi menjadi 4, yaitu kebutuhan fisik/dasar, kebutuhan keamanan, kebutuhan sosial, kebutuhan penghargaan, dan kebutuhan aktualisasi diri. Teori ini digambarkan dalam bentuk piramida, di mana bagian dasarnya kebutuhan fisik dan bagian puncaknya kebutuhan aktualisasi diri.
Umumnya, semakin mapan ekonomi seseorang, kebutuhannya bukan lagi berupa fisik, melainkan kebutuhan aktualisasi diri. Demikian masyarakat menerjemahkan Teori Maslow.
Banyak orang yang merasa lelah seumur hidup, bekerja keras sekadar memenuhi kebutuhan fisik. Seorang kawan yang jeli melihat situasi ini menyampaikan Teori Piramida Terbalik. Melalui teori ini, kawan tadi menyarankan agar kita jangan bersikeras memenuhi kebutuhan fisik saja. Pasalnya, Tuhan sudah dengan otomatis menyediakannya. Menurutnya, pemenuhan kebutuhan perlu dimulai dari kebutuhan aktualisasi diri dalam arti positif. Dengan mengembangkan kemampuan dan minat, mengabdi kepada masyarakat dengan tulus ikhlas, atau menyisihkan sebagian pendapatan untuk bersedekah, kebutuhan fisik secara otomatis akan terpenuhi. Dengan memberi maka kita akan menerima, demikian pesan bijaknya.
Kembali pada soal keinginan. Keinginan berlebihan membuat banyak orang rela menyisihkan sebagian penghasilan untuk membayar cicilan hutang yang melampaui batas kemampuan. Sebuah survei yang dilakukan Citibank pada tahun 2007 menyebutkan bahwa rata-rata para eksekutif yang bergaji sekira Rp20 juta/bulan bisa terancam jatuh miskin. Mengapa? Hal itu disebabkan cara mereka mengelola uang, yang lebih mementingkan keinginan. Mereka harus mengeluarkan 60% dari gajinya untuk membayar cicilan hutang konsumtif.
Pada awal karirnya, mereka bergaji satu-dua jutaan. Ketika gaji meningkat menjadi tiga juta, mereka mulai berhutang ke bank untuk membeli sepeda motor. Tatkala gajinya naik lagi, hutangnya kembali bertambah untuk mencicil rumah dan mobil. Naik gaji lagi, digunakan untuk membayar cicilan peralatan rumah tangga, demikian seterusnya. Semakin tinggi gaji, semakin menginginkan ini-itu banyak sekali dan semuanya keinginan konsumtif.
Apakah keinginan selaku buruk? Tidak juga. “Pada hakikaktnya, Tuhan menciptakan ‘keinginan’ untuk menguji kita,” kata Pak Ustad. Apakah keinginan itu akan membuat kita bertambah jauh atau bertambah dekat pada-Nya? Di sinilah letak pentingnya kepandaian mengatur keinginan. “Milikilah keinginan yang membuat kita lebih dekat pada-Nya,” tambah Pak Ustad.
Keinginan telah membuat orang menjadi lebih kreatif. Anda ingin terbang di angkasa? Ingin ke bulan? Ingin ke planet lain? Saat ini, semua keinginan yang pada jaman dulu dianggap dongeng sudah menjadi kenyataan. Tentu saja bukan atas bantuan robot kucing dari Abad ke-22, melainkan karya manusia itu sendiri. Semakin banyak ahli yang mampu memenuhi keinginan manusia dan semua keinginan yang menjadi kenyataan senantiasa disertai pesan “Jangan menyalahgunakannya, karena kelak engkau akan menemui masalah yang lebih besar”.
Yuk, kita bernyanyi lagi. “Aku ingin begini, aku ingin begitu…….ingin ini, ingin itu, banyak sekali…” ***

Sumber : Buku MENGGALI BERLIAN DI KEBUN SENDIRI -Bambang Suharno

Harga buku : Rp. 90.000 belum termasuk ongkir.

Pesan buku Hubungi:

Wawan : 0856 8800 752
Achmad : 0896 1748 4158

Alamat :
Jln. Rawa Bambu, Gedung ASOHI – Grand Pasar Minggu No.88 A, Jakarta Selatan 12520
Telp : 021-782 9689, Fax : 021-782 0408

No. Rek : PT Gallus Indonesia Utama
BCA : 733 030 1681
MANDIRI : 126 000 2074 119

Koleksi Buku GITAPustaka juga kini tersedia di BUKALAPAK (https://www.bukalapak.com/u/gitapustaka?from=dropdown)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>