MOTIVASI: Mengelola Beban Masalah

MENGELOLA BEBAN MASALAH_1

Mengelola Beban Masalah

Saya tidak menghadapi krisis. Saya menerima krisis. ~Bob Sadino

Saat berselancar di jejaring sosial, saya sering menemukan status berisi keluhan yang beraneka ragam. “Habis kena macet parah, sampai di kantor dimarahin bos pula. Nggak cuma itu, banyak kerjaan yang tertunda, padahal di rumah lagi nggak ada pembantu. Uh, mimpi aku semalam?”
Ada juga yang membuat status, “Wah, mampus gua. Tugas satu belum selesai, tugas lain sudah menumpuk. Hari ini harus meeting seharian. Ya Tuhan, apakah waktu bisa ditambah lebih dari 24 jam sehari?”
Kini, jejaring sosial semacam Facebook telah menjadi salah satu tempat untuk mengeluh. Pastinya, keluhan tentang beban hidup dan beban pekerjaan yang semakin berat.
Bicara soal munculnya keluhan akibat beban hidup, bukan hanya terjadi saat ini, ketika internet sudah menjadi sarana untuk berkomunikasi. Sejak keberadaan manusia di bumi, keberadaan beban hidup muncul beriringan. Setiap jaman, beban hidup bisa berbeda-beda. Keluhan di jaman perang kemerdekaan berbeda dengan keluhan di jaman modern saat ini.
Berbagai macam teknologi diciptakan untuk mengurangi beban hidup, tetapi faktanya, beban hidup terasa semakin bertambah berat. Tengok saja contoh berikut. Ketika manusia ingin berjalan cepat, diciptakanlah kendaraan. Agar kendaraan berjalan nyaman dan lancar, dibuatlah jalan beraspal. Setelah semua jalan diaspal mulus, kendaraan semakin banyak, perjalanan menjadi tersendat akibat macet. Perjalanan yang sebelumnya nyaman berubah menjadi menyebalkan. Begitulah kehidupan, satu solusi datang, masalah lainnya berdatangan.
Lalu, apa yang harus kita lakukan saat beban pekerjaan datang bertubi-tubi?
Ilmu manajemen klasik menyarankan agar kita menyusun prioritas kegiatan, melakukan penjadwalan ulang, menghemat waktu untuk beberapa pekerjaan, mendelegasikan sebagian pekerjaan, berani menolak tugas yang bukan semestinya, dan mampu melakukan negosiasi.
Saran-saran dari pakar manajemen tersebut tidak salah. Namun, hal yang perlu disempurnakan adalah mengondisikan agar otak tidak ‘meledak’ akibat beban yang terlalu berat.
Erbe Sentanu, seorang penulis, memberikan tips sederhana tetapi ampuh. Menurutnya, hal serius yang menjadi beban otak tidak perlu dilawan. Jika beban yang berat itu dipikirkan, beban yang dirasakan akan bertambah berat. Kita harus bisa mengubah pola perasaan dari “menahan beban” menjadi “menikmati beban” dengan “perasaan ikhlas”.
Menikmati, itulah kuncinya. Kunci tersebut bukan ada di dalam “pikiran”, melainkan ada dalam“perasaan”. Sekali lagi, ada dalam perasaan. Jadi, untuk sementara, jangan langsung berpikir terlebih dahulu saat menghadapi beban pikiran yang terlampau berat. Rasakan dan nikmati saja. Selanjutnya, pikiran akan bergerak positif menuju ketenangan. Disertai doa yang tulus, Anda akan menemukan solusi terbaik. Laksana ombak bergelombang, lalu berubah menjadi lautan yang tenang.
“Dulu, ketika masih menjalankan hidup dengan kepala yang penuh dengan hal-hal serius, segala sesuatu menjadi begitu sulit saya dapatkan. Ketika saya mulai menggeser “keseriusan di kepala” menjadi “keasyikan di hati”, perlahan tapi pasti, segala urusan hidup menjadi lebih lancar dan penuh kemudahan dengan “kemantapan rasa” yang dibimbing oleh Tuhan. Hal yang saya kerjakan mungkin sama, tetapi yang membedakan adalah tingkat “kesengajaan hidup”. Saya lebih sengaja untuk mengoperasikan pikiran dan perasaan saya untuk menikmati dan mengikhlaskan apa yang terjadi,” kisah Erbe Sentanu dalam bukunya, Quantum Ikhlas.
Ia melanjutkan, “Sekarang, ketika saya menginginkan sesuatu, misalnya ingin menemui seseorang atau bahkan membatalkan pertemuan dengan seseorang, yang saya lakukan adalah “mengaktivasi niat” itu dengan berdoa kepada Tuhan dan kemudian menimang-nimang keinginan saya itu di dalam hati sampai perasaan saya berubah, dari tidak enak menjadi enak, dari tidak ikhlas menjadi ikhlas. Setelah keikhlasan terjadi di dalam hati, biasanya tanpa terlalu banyak ngotot, keinginan-keinginan saya itu seperti diam-diam menelusup ke dalam hidup saya. Dan yang terjadi kemudian adalah yang terbaik bagi saya.”
Jika beban terasa sangat berat, mungkin Anda belum menemukan teknik untuk meringankan beban masalah tersebut. Oleh karena itu, ikhlaskanlah masalah itu. Rasakan dan arahkan pikiran Anda yang berombak masalah menjadi lautan perasaan yang tenang. Ingat, Tuhan tidak memberi beban melebihi kemampuan.
Saat krisis ekonomi dahsyat melanda tahun 1998, saya pernah bertanya pada Bob Sadino, “Bagaimana Om Bob menghadapi krisis ekonomi sekarang ini?”
Ia pun menjawab dengan santai, “Saya tidak menghadapi krisis. Saya menerima krisis.” ***

Sumber : Buku MENGGALI BERLIAN DI KEBUN SENDIRI -Bambang Suharno

Harga buku : Rp. 90.000 belum termasuk ongkir.

Pesan buku Hubungi:

Wawan : 0856 8800 752
Achmad : 0896 1748 4158

Alamat :
Jln. Rawa Bambu, Gedung ASOHI – Grand Pasar Minggu No.88 A, Jakarta Selatan 12520
Telp : 021-782 9689, Fax : 021-782 0408

No. Rek : PT Gallus Indonesia Utama
BCA : 733 030 1681
MANDIRI : 126 000 2074 119

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>