Motivasi: Berhenti Untuk Berjuang

Motivasi, kepemimpinan ,motivasi, pemikiran positif, tanggung jawab, tindakan

Berhenti Untuk Berjuang

Maju terus pantang mundur, jangan setengah-setengah!
~Panglima Besar Soedirman

Alkisah, dua lelaki tegap memasuki sebuah kelas di Sekolah Rakyat Kepatihan, Cilacap, Jawa Tengah. Pelajaran Aljabar di dalam kelas langsung berhenti. Kalender saat itu menunjuk akhir 1943. Bersama wali kelas Sukarno, keduanya berdiri di depan 30-an murid kelas lima.
Seorang di antaranya maju mendekati meja paling depan. Sosok itu kemudian mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kelas dan mengucap salam.
“Saya mau pamit akan berjuang bersama Dai Nipon,” ujar pria itu di depan kelas. Pria berpeci hitam, berkemeja putih kusam, dan bercelana krem panjang sedikit di bawah lutut itu bernama Soedirman, yang selama ini dikenal sebagai guru kelas yang ramah dan pintar mengajar. Sementara pria di sampingnya adalah Isdiman. Soedirman melanjutkan kalimatnya. “Saya minta pangestu (restu), mudah-mudahan berhasil. Anak-anak kalau sudah besar nanti juga harus berjuang. Membela negara.”
Serentak murid-murid menjawab, “Nggih, Pak!”. Sejenak kemudian kelas menjadi gaduh, anak-anak berteriak-teriak. “Selamat berjuang, Pak! Selamat berjuang, Pak! Semoga berhasil!”. Anak-anak itu merasa sedang kehilangan seorang guru kesayangannya. Soedirman menyalami para murid sebelum meninggalkan ruangan sambil melambaikan tangan. Isdiman, yang tak berujar sepatah kata pun, mengikuti di belakangnya.
Beberapa tahun setelah kejadian itu, nama kedua pria yang berpamitan tadi muncul sebagai tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia, yang dikenal di berbagai negara. Soedirman menjadi seorang Jenderal, Panglima Besar TNI, yang diangkat pada Juni 1947. Adapun Letnan Kolonel Isdiman gugur sebagai Komandan Resimen 16/II Purwokerto, dua tahun sebelumnya, dalam pertempuran melawan tentara sekutu di Ambarawa, Jawa Tengah.
Soedirman mendapatkan pendidikan militer pertamanya dari Jepang. Ia direkrut pemerintah negeri matahari terbit itu pada usia 25 tahun. Soedirman kemudian masuk Peta angkatan kedua sebagai calon daidancho yang dimulai pada April 1944.
Ketika Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Pemerintah Belanda tidak terima. Mereka kembali menyerang Indonesia dengan dukungan tentara sekutu. Namun, kekuatan dan kecerdasan sekutu mampu dikalahkan oleh gerilya tentara rakyat Indonesia di bawah pimpinan Jenderal Soedirman. Soedirman tidak mengeluh soal minimnya persenjataan TNI. Seandainya ia mengeluh dan berhenti berjuang, mungkin riwayat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah tamat.
Dalam perundingan pemerintah Belanda dengan para diplomat Indonesia, Belanda menawarkan negara serikat di bawah kordinasi kerajaan Belanda. Untunglah Soedirman menyatakan dengan tegas, kemerdekaan haruslah 100%, tidak setengah-setengah.
Singkat cerita, perang gerilya sanggup mengalahkan Belanda dengan motto “maju terus, pantang mundur”. Tentara Indonesia berhasil menduduki Jogjakarta selama 6 jam, yang membuat dunia terperangah serta percaya bahwa eksistensi negara Indonesia kuat dan nyata. Pada tahun 1949, Kerajaan Belanda pun mengakui kedaulatan NKRI. Inilah sejarah perang kemerdekaan yang menginspirasi banyak negara Asia dan Afrika untuk berani memerdekakan diri .
Pelajaran dari kisah tersebut adalah, jika Indonesia sanggup mengalahkan sekutu dengan gerilya, kenapa kini mental kita kerap merasa sudah kalah oleh dominasi ekonomi negara maju?
Bisa jadi, kekuatan Indonesia bukan pada korporasi, melainkan pada ekonomi skala UKM yang dikelola secara baik dan tak perlu banyak bicara, seperti kekuatan perang gerilya. Di Eropa saja, koperasi peternak sapi perah dapat berkembang hingga memiliki industri es krim Campina yang sangat mendunia. Kenapa kita selalu berpikir kalah karena skala kecil atau modalnya terbatas? Bukankah Soedirman bergerilnya tanpa mengeluh kekurangan senjata?
Soedirman telah membuktikan perubahan besar pada dirinya, dari seorang guru menjadi prajurit. Keputusan besar telah diambil di usianya yang muda, ia dipilih melalui pemungutan suara untuk menjadi Panglima Perang sebelum berumur 30 tahun dan diangkat menjadi Jenderal TNI di umur 30 tahun. “Jika mau perubahan besar, perlu mengambil keputusan besar.”
Keunggulan Soerdirman adalah jujur, saleh, dan teguh pada prinsip. Ketika rakyat terombang-ambing dalam perang mempertahankan kemerdekaan, mental para pemimpin diuji. Soedirman menegaskan, maju terus pantang mundur. “Merdeka harusnya tidak setengah-setengah,” begitu pesannya.
Setiap bulan Agustus, bangsa ini selalu memperingati hari Proklamasi Kemerdekaan. Sayangnya, peringatan HUT RI semakin hambar dan jauh dari pesan-pesan semangat proklamasi, yang sejatinya sangat penting untuk motivasi meraih sukses di dunia nyata. Seandainya Soedirman masih hidup, mungkin ia berbicara keras kepada mereka yang mengeluh karena persaingan semakin keras, pertumbuhan ekonomi melambat, usaha merugi, piutang tidak tertagih, atau mungkin mengeluh karena merasa sial.
“Maju terus pantang mundur, jangan setengah-setengah!” pesan Soedirman, guru SD yang memutuskan berhenti mengajar dan memilih berjuang untuk menjadi panglima perang. ***

Sumber : Buku MENGGALI BERLIAN DI KEBUN SENDIRI -Bambang Suharno

Harga buku : Rp. 90.000 belum termasuk ongkir.

Pesan buku Hubungi:

Wawan : 0856 8800 752
Aris : 0856 1555 433
Achmad : 0896 1748 4158

Alamat :
Jln. Rawa Bambu, Gedung ASOHI – Grand Pasar Minggu No.88 A, Jakarta Selatan 12520
Telp : 021-782 9689, Fax : 021-782 0408

No. Rek : PT Gallus Indonesia Utama
BCA : 733 030 1681
MANDIRI : 126 000 2074 119

Koleksi Buku GITAPustaka juga kini tersedia di BUKALAPAK (https://www.bukalapak.com/u/gitapustaka?from=dropdown)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>