FOKUS: Toxin Binder dan Peranannya

Toxin Binder dan Peranannya_1

Toxin Binder dan Peranannya

Indonesia adalah negara yang terletak di sepanjang garis khatulistiwa, beriklim tropis dengan kelembaban udara yang relatif tinggi dari waktu ke waktu (sehingga sering disebut sebagai negara dengan iklim tropis basah). Indonesia memiliki iklim laut yang sifatnya lembab dan banyak mendatangkan hujan. Pada musim penghujan jelas akan memberikan dampak signifikan terhadap kelembaban lingkungan dibanding saat musim kemarau. Hal ini juga karena Indonesia merupakan negara kepulauan, dimana sebagian besar tanah daratannya dikelilingi lautan dan samudera. Sehingga potensi pembentukkan uap air jauh lebih tinggi dibanding negara yang daratan lebih besar.

 

Lembab dan Faktor Resiko Munculnya Jamur

Pola suhu dan kelembaban di Indonesia dalam 24 jam sangat menciri sekali. Dimana pada saat tengah malam menuju ke dini/pagi hari, rendahnya suhu lingkungan biasanya akan diikuti oleh tingginya kelembaban, dan sebaliknya saat tingginya suhu siang hari secara umum kelembaban akan menurun signifikan.

Salah satu keunikan yang terjadi di Indonesia adalah dijumpainya kemarau basah yang berkepanjangan. Tingginya cekaman panas pada musim kemarau akhir-akhir ini menyebabkan terjadinya penguapan yang berlebihan dan berdampak pada terkumpulnya awan yang mengandung uap air yang pada titik kondensasi tertentu akan berubah menjadi hujan. Sehingga tidak jarang dijumpai kondisi pada saat cuaca panas, namun hujan turun yang menyebabkan kelembaban lingkungan semakin tinggi. Hal inilah yang menyebabkan pola kelembaban tidak hanya dipengaruhi rendahnya suhu pada malam hari, namunn juga suhu yang relatif tinggi yang berakibat penguapan berlebih pada saat siang hari, (Gambar 1).

Konsekuensi logis dari kondisi geografis tersebut membuat peternak harus lebih rinci dan detail dalam menjalankan aktivitas budidaya perunggasannya agar bisa meminimalkan efek atau resiko buruk dari kelembaban tinggi yang berdampak pada performa produksi ayam. Bahkan kelembaban relatif lingkungan bisa mencapai 100%. Tidak hanya sekedar dalam memainkan setting kipas dan tirai, upaya menjaga kualitas litter, mencegah adanya kepadatan semu, juga harus fokus terhadap ancaman penurunan kualitas pakan oleh adanya jamur dan mikotoksin. Mengingat efek yang dihasilkan sangat berbahaya dan merugikan, baik yang secara kasat mata mapun yang tidak, (Gambar 2).

 

Jamur dan Mikotoksin

Banyak para peternak yang belum bisa membedakan antara keduanya. Ada beberapa diantara peternak yang menganggapnya sama, padahal sebenarnya jelas berbeda. Jamur adalah organisme hidup yang bersel tunggal/banyak dan tidak memiliki zat hijau daun/klorofil, sedangkan mikotoksin adalah racun yang dihasilkan oleh jamur.

Secara lebih detail, mikotoksin bisa diartikan sebagai metabolit sekunder yang dihasilkan oleh spesies jamur tertentu pada bahan pangan maupun ransum (Fox dan Cameron, 1989). Pada  saat bahan baku pakan atau pakan telah terkontaminasi/ditumbuhi jamur, maka sudah bisa dipastikan bahwa toksin jamur (mikotoksin) sudah terbentuk. Apalagi Indonesia yang berada di iklim tropis basah menjadikan jamur mudah tumbuh mencemari bahan baku pakan dan pakan ternak jadi.

 

Dampak Negatif Mikotoksin

Adanya mikotoksin akan sangat mengganggu produktivitas ayam dengan derajad variasi yang ringan hingga berat. Pada level/kadar tertentu, mikotoksin akan berdampak buruk dengan menurunkan feed intake, kemudian pada fase lanjut akan menyebabkan konversi pakan memburuk, menurunkan sistem kekebalan tubuh ayam (bersifat immunosupresif), bahkan kematian.

Ada beberapa jenis mikotoksin yang sering mengontaminasi bahan baku pakan ternak, lihat tabel berikut:

 

Jenis Mikotoksin, Sumber dan Bahan yang Sering Terkontaminasi

Mikotoksin

Jamur yang Memproduksi

Bahan yang Sering Terkontaminasi

Aflatoksin Aspergillus flavus Jagung, biji kapok, kacang, kedelai
Aspergillus parasiticus
Ochratoksin A Aspergillus ochraceus Gandum, barley, oats, jagung, dll
Aspergillus nigri
Aspergillus verrucosum
Trichothecenes (DON, T-2, DAS, dll) Fusarium graminearum Jagung, gandum, barley
Fusarium culmorum
Zearalenone Fusarium graminearum Jagung, gandum, barley, rumput
Fumonisin Fusarium verticilloides Jagung
Fusarium proliferatum
Moniliformin Fusarium miniliformin Jagung
PR toxin, patulin Penicillium roqueforti Silase, rumput

Sumber: Bathnagar et al., 2004.

 

Adanya kontaminan mikotoksin seringkali sulit dihindari, karena mampu mengontaminasi mulai saat penanaman, pemanenan, penyimpanan bahkan saat pengolahan menjadi pakan jadi (CAST, 2003). Dan kontaminasi mikotoksin akan lebih besar jika manajemen penanganan, penyimpanan dan pemberian pakan tidak sesuai dengan kaidah yang diharapkan.

Berdasarkan hasil survei mikotoksin di Asia Tenggara 2015 kuartal ketiga (dilakukan di Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand dan Vietnam), menunjukkan bahwa kontaminan tertinggi dari mikotoksin adalah aflatoksin (61%) dan fumonisin (46%). Meskipun jenis toksin yang lain juga ada namun dengan prosentase yang relatif rendah.

 

Mekanisme Kerja Mikotoksin

Secara umum mekanisme kerja mikotoksin dalam memengaruhi saluran pencernaan  adalah dengan menghambat sintesis protein. Apabila sintesisnya terhambat, maka  berdampak pada perkembangan sel. Termasuk sel mikrovili usus, sehingga tinggi mikrovili usus tidak optimal. Dalam jangka pendek hal tersebut dapat meningkatkan stres oksidasi yang menyebabkan rusaknya membran sel, menyebabkan mikrobiota pada usus berkurang, sehingga mikroflora normal menjadi tidak seimbang. Dalam waktu panjang akan berdampak pada penyerapan nutrisi. Efek ini akan memengaruhi ekspresi genetik yang seharusnya menjadi tidak optimal. Demikian juga sintesa antibodi (zat kebal) juga akan terganggu.

Selain itu khusus pertahanan lokal di saluran pencernaan, kontaminasi juga akan menyebabkan induksi apoptosis karena permeabilitas dinding usus meningkat, tapi respon terhadap kekebalan dan produksi mukus menurun. Kondisi tersebut sangat mengganggu keseimbangan mikroba dalam usus ayam. Penghambatan sistem kekebalan pada usus ini mengakibatkan terjadinya penyakit Necrotic Enteritis (NE), (Callebero, 2018).

Kejadian NE yang di awali oleh adanya jamur dan mikotoksin semakin diperparah oleh buruknya tatalaksana pemeliharaan yang berhubungan dengan ventilasi udara, (Gambar 3).

Beberapa upaya telah ditempuh, mulai dari perbaikan manajemen pascapanen dan penyimpanan, perlakuan fisik dengan memisahkan bahan pakan yang telah tercemar mikotoksin dengan yang masih bersih, pengeringan sampai kadar air di bawah 14%, maupun penambahan bahan pengikat mikotoksin atau toxin binder.

 

Toxin Binder

Secara harfiah toxin binder bisa dipahami sebagai suatu zat yang mampu mengikat toksin (binded). Dimana prinsip kerja toxin binder adalah mengikat mikotoksin dalam saluran pencernaan dengan kuat, lalu mengeluarkannya bersama dengan kotoran/feses. Toxin binder yang ideal biasanya memiliki spesifikasi kemampuan penyerapan tersebut sangat selektif, dimana mampu menyerap jenis toksin tertentu tanpa memengaruhi penyerapan nutrisi yang bermanfaat baik untuk metabolisme ayam. Sehingga pemilihan jenis toxin binder menjadi salah satu hal yang sangat penting agar tujuan penggunaannya bisa tercapai. Penggunaan toxin binder menjadi salah satu metode yang efektif untuk menghindari efek negatif mikotoksin pada ternak dan ini sudah terbukti lebih dari 20 tahun (Galvano et al., 2001).

 

Jenis Toxin Binder

Beberapa pertimbangan dalam mengelompokkan jenis toxin binder dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya berdasarkan komponen penyusunnya. Berdasarkan komponen penyusunnya, toxin binder  dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

  1. A.   Organik

Organik bisa diartikan aman untuk organ tubuh ayam. Biasanya menjadi alternatif pilihan karena selain rendah resiko dari gangguan fungsi organ juga jauh lebih aman dan ramah lingkungan. Kelebihan toxin binder kategori ini biasanya terbuat dari bahan organik, diantaranya selulosa, hemisellulosa, lignoselulosa, pektin, enzim, bakteri atau ekstrak dinding sel dari ragi. Selain itu, toxin binder ini mampu menyerap lebih dari satu jenis mikotoksin.

Namun disisi lain, perlu juga dipertimbangkan beberapa kekurangan yang ada. Sifat antinutrisi-nya menjadi pertimbangan saat menyusun formula pakan. Density nutrisinya tidak bisa diatur dalam status marginal (terbatas) harus dipertimbangkan tambahan dalam prosentase tertentu untuk meminimalkan efek antinutrisi. Selain itu, toxin binder dari golongan ini lebih mudah terpengaruh pH dan suhu. Oleh karena itu, dosis penggunaanya harus ditentukan dengan tepat. Jika berlebihan justru bisa memicu perubahan pH saluran pencernaan, sehingga jamur dalam ransum akan semakin meningkatkan aktivitasnya menghasilkan toksin ketika berada di saluran pencernaan (Yiannikouris et al., 2004).

  1. B.   Anorganik

Kategori toxin binder ini dibuat dari bahan-bahan kimia, seperti karbon aktif dan alumunium silikat. Selain lebih murah, kategori ini relatif gampang dalam pemberiannya. Namun beberapa hal yang perlu diwaspadai adalah beban yang lebih berat di dua organ utama dalam tubuh ayam dalam upaya memetabolisir komponen anorganik yang masuk dalam tubuh ayam, yaitu ginjal dan hati. Dari beberapa jurnal ilmiah dilaporkan bahwa karbon aktif mempunyai kemampuan yang bagus dalam mengikat zearalenon atau deoxynivalenol (Doll et al., 2004;. Dante et al., 2005; Bueno et al., 2005).

Sedangkan jenis alumunium silikat sendiri banyak macamnya, terdiri atas HSCAS (Hydrated sodyum calcium alumunium silicate), zeolite, bentonite dan montmorillonite. Hasil peneltian yang sudah dipublikasikan secara internasional oleh Ramos dan Hernandez et al. (1997), dilaporkan bahwa HSCAS mampu mengikat aflatoksin dengan afinitas (daya ikat) tinggi. Pada tahap penelitian selanjutnya diketahui bahwa HSCAS juga mampu mengikat >80% total aflatoksin yang terdapat dalam pakan, serta mengikatnya dengan ikatan lebih kompleks/erat. Ikatan tersebut juga diketahui stabil pada pH 2, 7 dan 10, serta pada suhu 25-37°C (Phillips et al., 1988).

 

Seiring dengan perkembangan teknologi yang ada serta penelitian teknologi pakan, penggunaan toxin binder terus dikaji lebih rinci kemampuannya untuk mengikat toksin dan jamur secara lebih spesifik, sehingga tidak ikut terserab oleh usus dan ikut bersirkulasi oleh darah untuk disebarkan ke seluruh jaringan tubuh. Bahkan beberapa sudah dikombinasikan dengan enzim dan sediaan herbal tertentu.

 

Parameter Toxin Binder Ideal

Akhir-akhir ini banyak produk toxin binder beredar di pasaran. Sehingga harus benar-benar jeli dalam memilah dan memilih mana yang terbaik, tentunya dengan harga yang lebih terukur dan realistis. Berikut ini disajikan standar emas (gold standard) yang diharapkan, meskipun mungkin tidak semua bisa terpenuhi secara memuaskan. Beberapa perameter yang menjadi pertimbangan utama dalam memilih jenis toxin binder yang berkualitas adalah:

  1. Mempunyai kemampuan menyerap toksin lebih dari satu jenis toksin, dengan efektivitas yang sama dalam waktu yang sama (diperlukan try and error untuk penemuan lebih lanjut.
  2. Tidak bersifat bulky (mengembang/memakan ruang) dalam saluran pencernaan yang bisa berakibat menurunkan konsumsi ransum.
  3. Tidak mengikat nutrisi yang berguna untuk ternak, seperti vitamin, mineral maupun asam amino.
  4. Mempunyai kemampuan mengikat toksin yang dihasilkan oleh spora jamur dalam jumlah dan kadar yang banyak.
  5. Tidak rentan dengan pH dan suhu dalam saluran pencernaan.
  6. Stabil pada suhu panas dan tidak mudah rusak, termasuk saat penyimpanan, pencampuran dan terutama saat diberi perlakuan dengan suhu tinggi proses pelleting (pembuatan pakan pellet).
  7. Mempunyai kemampuan lebih dalam mengikat toksin spesifik meskipun menggunakan konsentrasi rendah sekalipun.

 

Hal tersebut tercantum dalam beberapa literatur, seperti jurnal Internasional: Poultry Production dan Working Paper Evaluation of Mycotoxin Binder.

Setelah menimbang hal tersebut di atas, jika dirasa tepat, baik sisi parameter kualitas dan harga, ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar pemakaian toxin binder bisa lebih optimal manfaatnya dan sesuai dalam hal mengikat toksin, serta tidak berpengaruh negatif untuk ayam.

Untuk menjaga kualitas toxin binder yang sudah dibeli, ada hal-hal yang harus diperhatikan, antara lain:

  1. 1.    Penyimpanan

Karena termasuk bahan bahan yang mudah rusak, tempat penyimpanan toxin binder idealnya di taruh di gudang atau ruangan yang kering, bersih, tertutup dengan suhu 20-25°C, kelembaban 60-65%. Alasnya harus menggunakan pallet atau semacamnya agar bisa meminimalkan dampak kelembaban dari lantai gudang

  1. 2.    Dosis pemberian

Kemampuan untuk mengikat toksin yang terdapat di bahan baku pakan ataupun pakan amat sangat dipengarui oleh seberapa parah tingkat kontaminasinya dan juga seberapa banyak jumlah yang harus diberikan. Hasil laboratorium dari sampling yang dilakukan bisa menjadi petunjuk acuan dan pertimbangan dasar terkait dengan dosis. Biasanya masing-masing produsen sudah melampirkan dosis yang harus diberikan berdasarkan riset atau penelitian yang dilakukan

  1. 3.    Cara pencampuran

Target dari proses pencampuran ke dalam suatu formula tertentu adalah homogenitasnya. Hal ini akan berdampak pada kinerja toxin binder. Harus benar-benar merata dalam setiap kali mencampurkan ke dalam bahan baku pakan ataupun pengadukan pada saat pembuatan pakan. Demikian juga spesifikasi ketahanan mikotoksin terhadap pH dan suhu harus menjadi perhatian juga, agar tidak rusak oleh pengaruh perubahan kimiawi ataupun perubahan fisika.

 

Dari uraian tersebut, ada beberapa hal yang harus menjadi catatan utama dalam menggunakan toxin binder, yakni:

  1. Kualitas pakan, baik secara fisik ataupun laboratories, amat sangat menentukan seberapa perlu penggunaan toxin binder dan kriteria/jenis penggunaannya sesuai dengan keperluan yang dibutuhkan.
  2. Upaya dalam meminimalkan resiko terkait dengan karakter cuaca yang lembab harus benar-benar menjadi pokok perhatian, mengingat toxin binder hanya bekerja pada hal-hal yang sifatnya sekunder saja, sementara faktor pemicu utama (faktor primer) harus juga dikoreksi pertama kali.
  3. Hal-hal yang terkait dengan penyimpanan, tata cara pemberian, dosis, harus benar benar diperhatikan sesuai dengan petunjuk supplier.
  4. Analisa dan evaluasi penggunaan toxin binder yang mendalam terkait dengan kasus mikotoksin ini harus dilakukan secara berkala dan menyeluruh, sehingga tujuan perbaikan performa ayam dari waktu ke waktu selalu bisa termonitor.
  5. Pengujian kualitas pakan harus secara berkala dilakukan terutama untuk mengevaluasi kandungan mikotoksin, sehingga lebih jelas pemilihan jenis toxin binder untuk meminimalkan resiko yang ada.
  6. Penerapan standard operating procedure terkait tata laksana handling pakan, mulai dari penerimaan, penyimpanan, hingga pakan dikonsumsi oleh ayam harus benar-benar diperhatikan. ***

Drh Eko Prasetio (Commercial Broiler Farm Consultant)

Sumber: www.jurnalpeternakan.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>