Fokus: Sinkroniasi Pakan dan Imbuhannya

PAKAN TERNAK

Sinkroniasi Pakan dan Imbuhannya

Semua mahluk hidup butuh makan, termasuk hewan ternak. Pakan merupakan kebutuhan utama hewan ternak, pakan harus mengandung nilai gizi yang seimbang agar mampu menunjang performa ternak tetap prima. Dari sisi lain, dalam suatu formulasi pakan terdapat zat additif di dalamnya, bagaimanakah mereka bersinkronisasi menjadi pakan dengan kualitas terbaik?.

Biaya terbesar dari suatu usaha peternakan berasal dari pakan, apapun jenis peternakannya biaya pakan biasanya mencapai lebih dari 60% total keseluruhan harga produksi. Jika ditelisik lebih dalam, pakan ternak zaman old mungkin hanya berupa rumput (ruminansia dan kuda) serta jagung (unggas). Namun, ketika era industrialisasi peternakan dimulai, banyak bermunculan pabrik pakan yang memproduksi beragam pakan ternak dengan klaim produk terbaik.

Seiring dengan kemajuan teknologi dan zaman, teknik dan formulasi pakan pun ikut berkembang. Jenis imbuhan pakan dewasa ini juga semakin beragam, namun imbuhan pakan secara garis besar digunakan untuk tujuan membantu meningkatkan pertumbuhan dan/atau produksi, mencegah serangan penyakit dan meningkatkan pemanfaatan pakan/nutrisi. Hingga titik ini, puluhan bahkan ratusan perusahaan baik produsen maupun distributor feed additive masih berlomba-lomba unjuk gigi dalam menyediakan berbagai jenis imbuhan pakan dengan keunggulan masing-masing.

 

Berbagai Macam Rupa dan Fungsi

Peternak mana yang tidak kenal imbuhan pakan? Sepertinya tidak ada. Setiap peternak kini sudah pasti tahu apa itu imbuhan pakan. Secara garis besar dalam ilmu nutrisi dan teknologi pakan, terdapat dua jenis imbuhan pakan, yakni feed additive dan feed suplement.

feed additive merupakan zat tambahan yang belum terdapat dalam kandungan bahan baku ransum, biasanya feed additive bersifat non-nutritif (bukan termasuk zat nutrisi). Contohnya ialah antibiotik imbuhan pakan (Antibiotic Growth Promoters/AGP), enzim, antioksidan, toxin binder dan lain-lain. Peran feed additive dalam pakan tergantung dari jenis kandungan zat additive-nya.

Sedangkan feed suplement adalah bahan pakan tambahan yang berupa zat-zat nutrisi yang sebenarnya sudah ada pada kandungan bahan baku ransum, feed supplement biasanya terdiri atas zat nutrisi mikro seperti vitamin, mineral atau asam amino. Penambahan feed supplement dalam pakan berfungsi untuk melengkapi atau meningkatkan ketersediaan zat nutrisi mikro yang seringkali kandungannya dalam pakan kurang atau tidak sesuai standar.

Menurut Prof Nahrowi dari Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, baik feed additive maupun feed supplement komposisinya di dalam ransum tidaklah banyak. “Mungkin dalam ransum terutama ayam komposisi imbuhan pakan hanya sekitar 1-3% saja, kalah jauh dibanding bahan baku lainnya,” tutur Nahrowi.

Namun begitu, walaupun sedikit jangan pula mengenyampingkan benefit yang diberikan oleh imbuhan pakan tersebut. “Misalnya AGP, paling berapa sih dosisnya? Sedikit sekali kan kandungannya dalam pakan, tapi bisa lihat dari fungsinya. Lalu kita lihat juga contoh lainnya misalnya enzim yang lagi hits, -mannanase atau xylanase, dosisnya sedikit kan? Tapi kembali lagi bahwa fungsinya vital mereka itu,” pungkasnya.

Terkait ragam dan fungsi dari imbuhan pakan, Nahrowi berujar, bahwa setiap formulator pasti memiliki “resep” yang berebeda-beda dalam memilih imbuhan pakan karena meracik formulasi ransum juga merupakan salah satu “seni” dalam industri peternakan.

Dalam memilih imbuhan pakan yang tepat banyak faktor yang harus dipertimbangkan oleh seorang formulator. Formulator dari PT Gold Coin Indonesia, Sahera Nofyangtri, punya beberapa kiat dalam memilih imbuhan pakan dalam formulasinya. Pertama ia menyebutkan yakni efisien, hal ini penting karena dalam sebuah Teknik formulasi pakan selain menghasilkan pakan dengan kualitas yang baik, harganya pun harus murah agar terjangkau oleh peternak.

“Maksudnya efisien bukan dari harga, tetapi dari value sebuah produk, jadi kalau harga murah namun si produk tadi tidak memiliki value-nya buat apa? Memang kita selalu berpacu dengan cost, tapi kualitas juga tidak bisa dianggap remeh,” kata Sahera.

Kedua ia selalu menyesuaikan imbuhan pakan yang digunakan dengan bahan baku. Contohnya, ketika harga bahan baku (terutama jagung dan kedelai) naik, jika penggunaannya dikurangi atau disubtitusi dengan bahan baku lain nilai gizinya akan berubah, maka hendaknya di sinilah penggunaan enzim seperti -mannanase digunakan. “Walaupun di zaman now memang enzim ini sudah dipakai, namun itu hanya sebagai contoh saja,” ucapnya.

Ketiga legal, teruji dan terbukti. “Ini mungkin aspek standar ya, tapi penting. Legalitas itu penting, bukti dan hasil uji juga penting. Jadi jangan nantinya cuma beli produk karena beli klaim terbaik-terbaik aja tapi pas dipakai hasilnya hancur-hancuran,” katanya.

Ia menegaskan, sebelum menggunakan suatu produk imbuhan pakan secara komersil, sebaiknya dilakukan trial terlebih dahulu agar bisa diketahui seberapa jauh imbuhan pakan berpengaruh dan baik potensinya.

 

Regulasi, Sanksi dan Solusi?

Berbicara masalah imbuhan pakan, tidak lengkap rasanya jika tidak berbicara mengenai AGP dan pengganti AGP. Masalah ini masih terus menjadi perbincangan hangat dikalangan stakeholder peternakan. Sejak diberlakukannya Permentan No. 14/2017 tentang Klasifikasi Obat hewan yang salah satunya mengatur mengenai pelarangan penggunaan AGP yang dimulai sejak 1 Januari 2018, semua kalangan di dunia peternakan terutama unggas terus berpolemik.

Pro-kontra terjadi, kendati begitu semua kalangan menghormati kebijakan yang diambil pemerintah. Kembali ditegaskan oleh Drh Fadjar Sumping Tjatur Rasa selaku Direktur Kesehatan Hewan, bahwa penggunaan AGP dilarang guna mencegah resistensi antibiotik lebih lanjut. Namun, penggunaan antibiotik dalam pakan sebagai medicated feed masih boleh dilakukan dalam dosis kuratif dan harus dengan resep, serta pengawasan dari dokter hewan. Selain itu, ia menjelaskan juga bahwa proses pembuatan pakan harus sesuai dengan kaidah feed security dan feed safety. “Nantinya kita akan inspeksi setiap farm dan feedmill, kalau ada yang melanggar aturan tersebut, akan kita kenai sanksi yang serius,” tutur Fadjar.

Sementara menurut Drh Heri Setiawan, Dewan Pakar Asosiasi Dokter Hewan Perunggasan Indoensia (ADHPI), pada poin mengenai sanksi pelanggaran ini pemerintah terkesan ingin terlihat galak dan tegas. Padahal, menurutnya pemerintah seharusnya lebih menekankan aspek solusi ketimbang sanksi, sebab ini merupakan programnya pemerintah juga.

“Saya mengutip data CIVAS, bahwa pengetahuan dan sikap peternak ayam petelur mengenai antibiotik masih rendah (52.5%). Lalu ada data dari lembaga yang sama mengenai dasar penggunaan antibiotika di peternakan ayam petelur berturut-turut datanya adalah menurut pengalaman sendiri, rekomendasi technical service atau teman peternak lainnya,” jelas Heri.

Menurutnya, yang perlu digaris-bawahi yakni tidak ada dalam data penggunaan antibiotik tadi rekomendasi dari petugas dinas peternakan (pemerintah). “Ini kan artinya peternak belum tersentuh oleh tangan pemerintah dalam hal penyuluhan dan pengetahuan mengenai antibiotik,” ucap Heri.

Lebih lanjut, sebaiknya ada program edukasi/sosialisasi kepada masyarakat peternak oleh Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan beserta jajarannya, bila perlu menggandeng perguruan tinggi, organisasi profesi dan organisasi pelaku usaha peternakan. “Melalui program ini diharapkan peternak dapat mendapatkan solusi yang implementatif mengenai pemberhentian penggunaan AGP tersebut,” kata dia.

Namun begitu, masalah juga belum berhenti sampai di situ, ketika AGP di-stop penggunaannya, otomatis peternak dan feedmill dihadapkan dengan persoalan mengenai bahan apa yang dapat menggantikan fungsi AGP. Memang pada kenyataannya ada banyak produk pengganti AGP yang beredar di pasaran, namun kendala yang utama yakni cost. Produk-produk tersebut menurut pengalaman penulis harganya jauh lebih mahal ketimbang AGP.

Selain itu, ada beberapa selentingan yang tim redaksi Infovet dengar dari beberapa regulatory staff di beberapa perusahaan obat hewan mengenai regulasi pendaftaran produk pengganti AGP yang masih berbelit-belit dan membingungkan. Padahal registrasi produk merupakan pintu gerbang menuju pasar, jika registrasinya saja membutuhkan waktu yang lama, maka peternak dan feedmill juga akan berkurang pilihan produknya dalam mengganti AGP.

Tentunya ini juga menjadi pelajaran bagi semua pihak yang berkecimpung dalam dunia peternakan, bahwa butuh lebih banyak analisis dan pertimbangan dalam menentukan arah dari suatu kebijakan, yang pasti dengan tidak dipergunakannya AGP dalam pakan ternak, dapat mengurangi risiko resistensi antibiotika yang mengancam, namun hal tersebut juga harus dibarengi dengan perbaikan regulasi secara berkala dan terukur agar tidak terjadi ketimpangan. (CR)

Sumber: www.majalahinfovet.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>