FOKUS: Sekelumit Review Penyakit Ternak 2019

Sekelumit Review Penyakit Ternak 2019_3

Sekelumit Review Penyakit Ternak 2019

 

Salah satu hambatan dalam industri peternakan khususnya sektor budidaya adalah keberadaan penyakit. Baik penyakit yang sifatnya infeksius maupun non-infeksius, semuanya bisa jadi biang keladi kerugian bagi peternak. Menarik untuk dicermati ragam penyakit yang menghampiri di tahun ini dan bagaimana prediksinya kedepan.

Perunggasan, sebagai industri terbesar di sektor peternakan di Indonesia tentunya yang paling menjadi sorotan. Tiap tahunnya, kejadian penyakit selalu terjadi dan jenisnya pun juga beragam, baik infeksius maupun non-infeksius.

Sebagai negara tropis, Indonesia memang menjadi tempat yang nyaman bagi berbagai jenis mikroorganisme patogen. Tentunya para stakeholder yang berkecimpung mau tidak mau, suka tidak suka harus berusaha untuk bisa survive dari hambatan ini.

Yang patut diingat adalah bahwa kejadian penyakit akan berhubungan dengan performa dan produktivitas. Kedua aspek itu tentu saja akan langsung terkait pada nilai keuntungan yang didapat. Jadi, siapa saja yang dapat mencegah terjadi penyakit di suatu peternakan, apapun peternakannya, sudah pasti akan mendapatkan keuntungan yang lebih baik.

 

Penyakit Unggas 2019

Larangan penggunaan AGP yang sudah berjalan hampir dua tahun mungkin masih sedikit terasa oleh peternak. Meskipun ada juga yang sudah dapat settingan terbaik dalam mengakali performa. Penyakit unggas utamanya broiler di 2019 ini masih bisa dibilang sama dari tahun-tahun sebelumnya. Bisa dibilang penyakit klasik” seperti CRD, CRD kompleks, ND dan Kolibasilosis kerap kali masih menjadi wabah di suatu peternakan.

Penyakit-penyakit infeksius yang menyerang saluran pernapasan masih bisa dibilang mendominasi kejadian penyakit di Indonesia. Data dari tim Technical Education & Consultation (TEC) PT Medion, menunjukkan bahwa selama 2019 penyakit CRD dan turunnannya masih mendominasi, bisa dilihat pada grafik 1 di bawah ini:

 

Grafik 1. Kejadian Penyakit pada Ayam Broiler 2017, 2018 dan Jan-Okt 2019

Sekelumit Review Penyakit Ternak 2019_1

Sumber: Technical Consultation & Education Medion, 2019.

 

Manajer Technical Consultation & Education PT Medion, Drh Christina Lilis, mengatakan bahwa kejadian penyakit seperti CRD, CRD kompleks dan Kolibasilosis erat kaitannya dengan manajemen pemeliharaan.

“Manajamen pemeliharaan yang kurang baik akan membuat penyakit ini kerap berulang, karena sebagaimana kita ketahui si agen penyakit ini sifatnya oportunis. Jadi manajemen pemeliharaan tentunya harus benar-benar diperhatikan,” tutur Lilis.

Cuaca dan iklim juga dapat mempengaruhi pola serangan penyakit. Menurut Lilis, ketika musim pancaroba seperti sekarang ini, dapat memicu stres pada ternak sehingga ternak akan mengalami imunosupresi yang kemudian akan memudahkan serangan agen infeksius patogen.

Hal senada juga disampaikan Technical Support PT Mensana Aneka Satwa, Drh Arief Hidayat, yang juga menyoroti kondisi iklim dan manajemen pemeliharaan dan relasinya terhadap penyakit. Arief mengatakan, beberapa bulan belakangan, selain penyakit CRD dan turunannya yang sudah menjadi langganan, ia juga banyak menemui kejadian penyakit ND G7 di area Jabodetabek dan beberapa bagian Pulau Jawa.

“Dari Maret sampai saat ini ND G7 ini saya banyak ketemu, di Jabodetabek lagi banyak. Banyak juga peternak yang bingung kalau itu ND, mereka banyak yang menyangka kalau itu penyakit lain,” kata Arief kepada Infovet.

Menurutnya, selain karena cuaca yang ekstrem, ND G7 mewabah di peternakan karena manajemen pemeliharaan yang kurang baik. “Kalau tahun ini rasanya siang itu panas banget, terus malamnya dingin. Saya monitoring di kandang itu ada yang perbedaan suhunya sampai dua digit. Jadi pasti ayam stres ini dan penyakit jadi mudah masuk,” ungkap dia.

Arief juga menjelaskan, peternak juga salah kaprah mengenai penyakit ND G7. Mereka, kata Arief, hanya melakukan vaksinasi dengan ND lasota saja tanpa disertai dengan vaksin ND G7 killed. Padahal sebagaimana diketahui bersama bahwa ND G7 agennya memang sudah hadir di Tanah Air.

“Memang sudah terkonfirmasi ada, vaksinasi dengan menggunakan lasota saja memang dapat memproteksi dari G7 tapi enggak tinggi, paling tingkat protektifnya cuma 60%-an. Makanya saya sarankan supaya setelah vaksinasi dengan lasota, divaksin juga dengan ND killed yang ada G7-nya,” jelasnya.

Dahulu memang sempat ada isu bahwa ND G7 merupakan “mainan” atau “bisa-bisaan” pabrikan vaksin untuk menakuti peternak. Menanggapi isu ini, Arief hanya tersenyum mengomentarinya.

“Kalau itu mainannya orang vaksin enggak mungkin lah, itu udah ditemuin beberapa tahun lalu, sekarang buktinya ada kan ketemu. Oleh karenanya kita harus bijak menanggapi sesuatu, dokter hewan itu kalau ngomong juga harus ada buktinya, makanya jangan kemakan isu-isu yang begitu,” ucap Arief.

Dengan semakin banyaknya penyakit yang berkembang, Arief menyarankan kepada peternak agar jangan hanya percaya hasil dari temuan nekropsi (patologi anatomis) saja, tetapi juga pengujian laboratorium harus dilakukan. Hal ini agar diagnosis dan dugaan sementara yang dilihat dari temuan nekropsi makin akurat. Selain itu, peternak juga perlu guyub dengan sesama peternak maupun stakeholder lainnya.

“Seharusnya peternak sekarang makin pinter, soalnya komunikasi sekarang gampang. Jadi jangan anggap juga peternak lain itu kompetitor aja, tapi juga teman diskusi. Technical service (TS) perusahaan juga jangan dianggap jualan obat aja, tapi juga partner kerja,” tukasnya.

Namun ketika ditanya perihal ada penyakit baru di sektor perunggasan, baik Arief Hidayat maupun Christina Lilis, mengungkapkan hal yang sama, yakni belum ada penyakit jenis baru yang menyerang unggas Indonesia. Permasalahan masih berkutat pada penyakit yang sama. Tentunya ini menjadi indikasi bahwa masih banyak pekerjaan rumah bagi dokter hewan perunggasan dalam membenahi manajemen pemeliharaan peternak, khusunya di tingkat peternak rakyat.

Beralih ke peternakan layer, penyakit yang mendominasi adalah Coryza, namun begitu CRD tetap konsisten sebagai kasus langganan dengan berada di urutan kedua. Hal ini sebagaimana terlihat dari grafik 2 berikut:

 

Grafik 2. Kejadian Penyakit pada Ayam Petelur 2017, 2018 dan Jan-Okt 2019

 Sekelumit Review Penyakit Ternak 2019_2

Sumber: Technical Consultation & Education Medion, 2019.

 

Yang juga menarik adalah penyakit parasitik seperti kecacingan yang berada pada urutan ketiga. Tanpa disangka penyakit kecacingan kasusnya cukup banyak terjadi tahun ini. Bicara mengenai kecacingan, Subagja, salah satu manajer kandang di sebuah peternakan layer di Cianjur, mengatakan bahwa pada beberapa waktu yang lalu kejadian kecacaingan memang sering ditemuinya.

“Ayam susah gede, jadi pullet itu enggak masuk bobotnya, terus yang laying turun produksinya. Curiganya kata anak kandang ada yang melihat seperti bagian tubuh cacing. Pas saya tanya ke TS katanya namanya proglotid kalau nggak salah, itu bagian tubuh cacing pita,” ujar Subagja.

Ia mengaku kaget mendengar ada kejadian tersebut, terlebih lagi ia membayangkan cacing pita seperti yang ada pada ternak babi. “Takutnya itu bisa nular ke orang, tahu sendiri gimana ngerinya orang sama cacing pita, takut nular,” ucap dia.

Memang menurut Subagja di kandangnya tidak ada program pencegahan kecacingan, karena hal seperti itu tidak pernah terjadi. Namun dengan adanya kasus ini, Subagja jadi menambahkan pemberian obat cacing di kandangnya.

Perihal cacing pita pada unggas, pakar Kesehatan Masyarakat Veteriner yang juga dosen Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Drh Denny Widaya Lukman, mengatakan bahwa cacing pita pada unggas (umumnya Railietina sp.) tidak bersifat zoonotik. Namun, cacing pita pada unggas dapat menurunkan produksi telur dan mempengaruhi performa.

“Berbeda sama cacing pita di ternak babi dan sapi, di ayam cacing pitanya enggak menular ke manusia. Jadi tidak usah khawatir, telur yang dikonsumsi aman, daging ayamnya juga aman,” katanya.

 

Ancaman dari Sektor Lain

Berbeda dari sektor perunggasan yang masih “gitu-gitu” saja. Ancaman lain yang jadi heboh di Indonesia pada 2019 datang dari sektor peternakan babi. Ribuan ekor babi mati di beberapa daerah akibat Hog Cholera. Tercatat sebanyak 4.682 ekor babi menjadi korban ganasnya Hog Cholera di Sumut.

Hal tersebut dikemukakan oleh Ketua Umum Asosiasi Monogastrik Indonesia, Sauland Sinaga dalam sebuah seminar. Menurutnya, ini adalah wabah Hog Cholera yang memakan korban sangat banyak dan merugikan peternak.

Ketika ditanyakan lebih lanjut mengenai kejadian tersebut dan kemungkinan akan infeksi dari penyakit African Swine Fever (ASF), Sauland hanya tersenyum sembari berkelakar. “Kalau kata orang lab, hasil pemeriksaan di laboratorium itu diduga positif ASF, ini yang bikin saya bingung. Saya ini orang lab juga, setahu saya hasil lab itu cuma positif atau negatif, yes or no, kalau hasil lab saja masih dibilang diduga, untuk apa kita capek-capek nekropsi,” kata Sauland.

Walaupun begitu, Sauland tetap mengingatkan kepada peternak agar tetap waspada terhadap serangan penyakit apapun. Ia mengimbau peternak agar lebih meningkatkan manajemen pemeliharaan terutama di bidang biosekuriti. (CR)

Sumber: www.majalahinfovet.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>