FOKUS: Regulasi Pakan Terapi

Regulasi Pakan Terapi_2

Regulasi Pakan Terapi

 

Larangan penggunaan antibiotik sebagai growth promoter di Indonesia sudah berlaku sejak awal 2018. Sebagai kompensasinya, pemerintah memberlakukan kebijakan baru tentang pakan terapi/medicated feed.

Fenomena menambahkan antibiotik ke dalam pakan ternak, utamanya unggas, sudah lama dilakukan oleh peternak, bukan hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Antibiotik diberikan dalam dosis yang sangat kecil dengan tujuan sebagai growth promoter/pemacu pertumbuhan, atau akrab disebut AGP (Antibiotic Growth Promoter).

Hingga kemudian, isu mengenai resistensi antimikroba menyeruak di Indonesia dan pemerintah melalui Kementerian Pertanian melarang penggunaan antibiotik sebagai imbuhan pakan pada ternak dengan mengeluarkan Permentan No. 14/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan terhitung sejak Januari 2018.

 

Perhatikan Indikasi Patuhi Regulasi

Melalui Surat Keputusan Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) No. 09111/KPTS/PK.350/F/09/2018 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Obat Hewan dalam Pakan untuk Tujuan Terapi (Medicated Feed) tertanggal 10 September 2018, telah dinyatakan berlaku secara resmi. Perlu digaris bawahi bahwa medicated feed merupakan obat ternak yang diberikan melalui pakan ternak dengan indikasi medis.

Kepala Subdit Pengawasan Obat Hewan, Ditjen PKH, Drh Ni Made Ria Isriyanti, menyatakan bahwa petunjuk teknis mengenai medicated feed merupakan turunan dari Permentan No. 14/2017 yang di dalamnya tercantum medicated feed atau pakan untuk keperluan pengobatan.

“Jadi perlu saya tekankan ini bukan untuk digunakan sehari-hari, tapi untuk farm yang sedang mengalami masalah dengan penyakit. Jadi tidak sembarangan digunakannya,” tuturnya. Dalam pelaksanaan penyediaan medicated feed pun dibutuhkan beberapa petunjuk teknis agar tidak membingungkan para pelaku di lapangan.

Berbagai tanggapan pro dan kontra pun menyeruak terkait peraturan tersebut. Menanggapi itu, Ketua Umum GPMT (Gabungan Perusahaan Makanan Ternak), Drh Desianto Budi Utomo, mengatakan itu adalah hal biasa. Kekhawatiran akan pakan terapi pasti ada, namun jangan berlebihan. “Kita serahkan saja peraturan dari pemerintah, perusahaan pakan hanya tinggal memenuhi aturannya saja, kalau ada yang tidak dimengerti sebaiknya ditanyakan lebih jauh,” tutur Desianto.

Ia mengajak seluruh produsen pakan yang tergabung dalam GPMT agar tetap dalam koridor, dalam artian sebagai produsen pakan jangan mau “main mata” dengan customer. “Kami juga akan memperhatikan anggota kami, jika ingin membuat pakan terapi indikasi harus jelas, diagnosis juga harus jelas, jangan sampai memberikan pakan terapi untuk hewan yang sehat,” ucap dia.

Senada dengan dengan hal itu, Ketua Umum ASOHI (Asosiasi Obat Hewan Indonesia), Drh Irawati Fari, menyatakan siap dalam penegakan peraturan mengenai pakan terapi ini. “Inikan diibaratkan seperti makanan khusus untuk orang yang sedang sakit. Kalau kita berikan makanan orang sakit ini kepada orang yang sehat kan konyol,” tutur Irawati.

Ia pun menegaskan agar sebelum memberikan pakan terapi kepada ternak, pastikan ternak memang benar dalam kondisi sakit. “Harus ada bukti dan diagnosis lengkap kalau ternak butuh itu (pakan terapi). Nanti harusnya ada koordinasi antara farm, pabrik pakan dan kalau perlu dinas terkait untuk memastikan ini hewan yang diberikan pakan terapi beneran sakit atau tidak? Fungsi pengawasan harus dijalankan,” tukasnya.

 

Bukan Pilihan Satu-Satunya

Sejak antibiotik dilarang digunakan sebagai AGP, performa ternak bisa dibilang menurun. Testimoni yang Infovet dapatkan dari beberapa peternak, mengatakan bahwa parameter yang menurun sejak kebijakan pelarangan AGP diantaranya persentase daya hidup ayam (sekitar 10%), pertambahan bobot badan (rerata 9-10%) dan konversi pakan (rerata 5-7%). Hal ini juga sudah diprediksi oleh GPMT beberapa waktu yang lalu melalui data yang sudah dipublikasikan.

Salah satu peternak layer asal Lampung, Subadio, mengiyakan perihal masalah penurunan tersebut. Menurutnya sejak pakan “berubah”, performa produksi ternaknya menurun. “Kalau saya lebih sering liat ayam nyekrek, apalagi kalau cuaca lagi ekstrem gini. Pokoknya harus ekstra hati-hati,” kata Subadio.

Kendati demikian, dirinya tak pernah me-request untuk menggunakan pakan terapi ketika ayamnya berada dalam keadaan sakit. “Pernah saya kepikirian begitu (beri pakan terapi), tetapi saya enggan. Sebab katanya pakannya khusus dan nanti harganya beda. Udah gitu, takutnya nanti kalau sudah biasa pakai (pakan terapi) terus diganti pakan biasa nanti performa jelek lagi, jadi takut saya. Jadi saya lebih pilih pakai obat-obatan suntik atau yang diminumin aja, lagian takut ribet juga nanti,” ucapnya.

Sementara, menurut Technical Support PT CPI Lampung, Drh Arif, mengatakan hampir tidak pernah mendapatkan pesanan pakan terapi dari para customer. Peternak di sana rata-rata lebih suka menggunakan pakan reguler, apabila terjadi penyakit mereka masih menggunakan obat-obatan konvensional. “Masih jarang, peternak masih senengan diberi obat via air minum begitu. Saya tidak tahu kenapa. Tapi kalau menurut saya mereka juga males ribet-ribet,” kata Arif.

Keengganan tersebut kemungkinan disebabkan karena ketika hendak memberi pakan terapi, dibutuhkan diagnosis yang tepat sampai harus merujuk pada hasil uji laboratorium. Sementara, untuk melakukan uji laboratorium diperlukan waktu yang cukup lama, dikhawatirkan ternak yang terserang penyakit semakin parah dan produksi makin menurun, bahkan berujung kematian.

“Saya sebagai divisi teknis pasti menawarkan, tetapikan semua juga tergantung peternak. Kalau memang harus menggunakan yang konvensional, saya tetap akan awasi penggunaan obatnya. Soalnya itu tanggung jawab moral saya juga sebagai dokter hewan,” ungkapnya.

Hal lain yang menurut Arif menyebabkan peternak enggan menggunakan pakan terapi adalah soal harga. Cost yang lebih tinggi menjadi pertimbangan bagi peternak. Selain itu, lanjut dia, di wilayah Lampung saat ini sedang gencar program NKV untuk peternak layer, sehingga trennya berubah dari mengobati menjadi mencegah penyakit.

“Di sini peternak layer sudah banyak yang memiliki NKV, mereka hanya menambahkan dan menerapkan biosekuriti saja. Semua komponen di sini juga membantu dan mendorong peternak seperti itu,” jelasnya.

Subadio termasuk peternak yang menerapkan sistem biosekuriti dengan ketat dan konsisten, sampai dirinya mendapatkan sertifikat NKV dari dinas peternakan provinsi. Menurut pengakuan Subadio, setelah ia menerapkan biosekuriti yang baik dengan konsep tiga zona ala FAO, performa di kandangnya menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Data yang ia paparkan kepada Infovet, tertulis pada usia sekitar 29 minggu produksi telur ayam layer miliknya stabil di angka 90% lebih. Dalam data tersebut pula disebutkan tingkat kematian ayam di peternakannya sangat rendah, hanya 1% dari 30.000 ekor populasi. “Di farm sini per hari enggak selalu ada ternak yang mati, enggak kaya di farm saya yang satunya yang belum saya bangun biosekuriti tiga zona,” kata Subadio.

Subadio juga memaparkan bahwa penggunaan obat-obatan di kandangnya juga berkurang sekitar 30-40%. “Saya ingin konsisten begini saja, jangan sampai performa turun. Bukan saya enggak percaya sama pakan terapi, saya hanya tidak ingin ayam saya sakit. Karena kalau penyakit bisa dicegah, kenapa harus diobati,” tandasnya. (CR)

Sumber: www.majalahinfovet.com dan Buku Kompendium Imbuhan dan Pelengkap Pakan

Harga buku : Rp. 350.000 belum termasuk ongkir.

Pesan buku Hubungi:

Wawan : 0856 8800 752
Achmad : 0896 1748 4158

Alamat :
Jln. Rawa Bambu, Gedung ASOHI – Grand Pasar Minggu No.88 A, Jakarta Selatan 12520
Telp : 021-782 9689, Fax : 021-782 0408

No. Rek : PT Gallus Indonesia Utama
BCA : 733 030 1681
MANDIRI : 126 000 2074 119

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>