Fokus: Prinsip-Prinsip Biosekuritas Dalam Situasi Non-AGP

Prinsip-Prinsip Biosekuritas Dalam Situasi Non-AGP

Prinsip-Prinsip Biosekuritas Dalam Situasi Non-AGP

Oleh: Tony Unandar (Anggota Dewan Pakar ASOHI)

Tak dapat dipungkiri lagi, telah lebih dari tiga perempat abad industri peternakan global sudah sangat tergantung dengan AGP (Antibiotic Growth Promotor) sebagai suatu pendekatan untuk memperbaiki performans hewan ternak (efisiensi) dan meningkatkan daya tahan tubuh ternak terhadap terpaan bibit penyakit di lapangan. Namun sejak adanya “Schwann Report” pada tahun 1989, gerakan untuk membebaskan penggunaan AGP pada “food producing animals” terus bergelora, pelan tapi pasti dan terus menjalar dari suatu negara ke negara lain. Indonesia, mulai Januari 2018 akan menerapkan strategi yang sama, yaitu pakan ternak yang bebas AGP. Para pelaku industri peternakan, khususnya unggas, seolah baru terbangun dari tidur-kaget dan bimbang-karena kurang persiapan. Tulisan ini bisa menjadi sumbang-saran di dalam kebingungan tersebut. Dan lagi, pemahaman atas tulisan ini tentu saja akan mempermudah peternak untuk melakukan tindakan pencegahan penyakit dalam lingkungan peternakannya secara efektif dan strategis, dengan demikian ketergantungan pada preparat antibiotika bisa dikurangi. 

Ayam dan Bibit Penyakit (BP)

Ayam dan BP, termasuk juga makhluk hidup lainnya, secara universal mempunyai karakter ego. Tegasnya, dalam menjaga kelestarian kehidupannya (baca: eksistensinya di atas muka bumi), sifat ini menjadi sangat penting sekali. Sebab kalau tidak, makhluk hidup yang bersangkutan dalam tempo cepat atau lambat pasti akan lenyap dari permukaan bumi alias punah.

Pada BP, manifestasi dari sifat ego ini adalah kemampuannya untuk menerobos mekanisme pertahanan tubuh ayam (kemampuan melakukan invasi alias invasiveness), termasuk kemampuannya untuk menggagalkan kinerja suatu preparat antibiotika (kemampuan membentuk reaksi resisten). Di lain pihak, sifat ego pada ayam dimanifestasikan dengan keberadaan mekanisme pertahanan tubuhnya yang berlapis-lapis, mulai dari mekanisme pertahanan fisiko-kimiawi, pertahanan seluler via sel darah putih (mekanisme fagositosis) ataupun melalui sel limfosit yang terkait dengan sistem kekebalan (respon kekebalan).

Kemampuan melakukan invasi (invasiveness) dari suatu BP dapat mengalami perubahan, tergantung kondisi lingkungannya. Di lapangan, jika suatu BP tidak mendapatkan induk semang atau lingkungan yang sesuai, maka lama kelamaan BP tersebut akan mati atau setidaknya kemampuan untuk melakukan invasinya akan melemah. Ini berarti kemampuannya untuk merusak, apalagi untuk menimbulkan penyakit pada ayam sangatlah kecil. Kondisi inilah yang sesungguhnya terkandung dalam makna “istirahat kandang” (down-time). Dengan kata lain, jika peternak melakukan istirahat kandang yang cukup, tidak hanya kemampuan invasi suatu BP saja yang berkurang (aspek kualitas: patogenisitas), tetapi variasi jenis, serta jumlah BP di sekitar ayam juga akan  berkurang (aspek kuantitas: total inokulum).

Sebaliknya, tanpa istirahat kandang atau juga pada peternakan yang “multi-age” (dalam satu lokasi peternakan terdapat beberapa flok ayam dengan umur yang sangat bervariasi), berarti BP selalu mendapatkan induk semang (ayam) yang sesuai. Karena adanya sifat ego, kondisi ini tentu saja akan mendorong BP untuk meningkatkan kemampuan invasinya dari waktu ke waktu. Suatu ketika, daya invasi BP yang bersangkutan sudah berbeda sama sekali dengan aslinya alias sudah terbentuk BP dengan strain atau tipe baru yang tentu saja lebih ganas atau virulen. Jadi, peternakan multi-age atau peternak yang mengabaikan istirahat kandang, secara tidak sengaja selain akan mendorong terciptanya BP dengan keganasan yang lebih hebat, juga menyebabkan variasi jenis dari BP yang ada akan meningkat.

Sebenarnya ada tiga pendekatan yang secara bersamaan dapat dilaksanakan di lapangan dalam usaha mencegah terjadinya kasus penyakit pada ternak ayam yang dipelihara. Ketiga pendekatan tersebut kelak menjadi prinsip dasar dalam bentuk implementasi biosekuritas di lapangan, yaitu:

1. Mengurangi Populasi BP di Sekitar Ayam

Ayam yang dipelihara tentu saja akan sehat jika populasi BP di sekitarnya sangat rendah, atau bahkan tidak ada sama sekali. Ada beberapa bentuk tindakan untuk mengurangi populasi BP di sekitar ayam, yaitu:

a)   Dengan istirahat kandang yang cukup, umumnya berkisar antara 1-3 minggu, tergantung tingkat keparahan dan frekuensi kasus penyakit yang pernah terjadi. Lama istirahat kandang dihitung ketika kandang telah bersih dan sudah didesinfeksi dengan baik pada tahap akhir.

b)   Dengan menjaga ventilasi udara dalam kandang tetap optimal berarti sudah melakukan pengenceran atau mereduksi patogen dalam udara di sekitar ayam.

c)    Dengan menjaga ketebalan litter yang cukup (>8 cm) dan tatalaksana litter yang baik berarti sudah mengencerkan dan mengurangi keterpaparan ayam terhadap patogen dari dalam litter.

d)   Dengan pelaksanaan sanitasi dan disinfeksi yang terprogram rutin serta konsisten, baik di dalam dan luar kandang, peternak sudah mengurangi jumlah patogen di sekitar ayam (total inokulum).

Untuk mengoptimalkan usaha-usaha dalam mengurangi populasi BP di sekitar ayam yang dipelihara, tentu saja harus mempunyai fokus yang jelas. Target mikroorganisme yang akan dikontrol ataupun jenis mikroorganisme yang selalu mengakibatkan masalah di peternakan yang bersangkutan. Dengan kata lain, target utama dan terutama adalah BP yang dominan di lingkungan ayam yang dipelihara.

Ada beberapa cara untuk mengetahui BP yang dominan di sekitar ternak ayam, yaitu dengan membaca dan menganalisa sejarah kasus-kasus penyakit di peternakan tersebut, melakukan diskusi dengan penanggung jawab peternakan, atau bahkan bisa langsung melakukan pengamatan di lapangan secara periodik. Informasi tentang kasus-kasus yang ada juga bisa ditambahkan informasi dari dinas peternakan setempat tentang kasus-kasus endemik di area yang bersangkutan.

Jika BP yang dominan telah diketahui, maka tentu saja dapat mengetahui interaksi antara BP tersebut dengan lingkungannya (aspek epidemiologis) dan aktivitas BP tersebut di dalam tubuh ayam (aspek patogenesis). Material yang digunakan untuk menyebar, misalnya feses, air liur atau ketombe bulu tentu saja harus diberi perhatian lebih dalam usaha mencegah penyebaran ataupun bertahan hidupnya BP lebih lanjut. Dengan keberhasilan mengidentifikasi BP yang dominan juga akan mempermudah menentukan strategi yang jitu untuk mengontrolnya, apakah menggunakan vaksin, antimikroba, atau disinfektan yang sesuai.

Adapun desinfektan yang dipakai tentu saja harus cocok dengan BP yang ada di dalam lokasi peternakan yang bersangkutan, jadi bukanlah berdasarkan harga yang paling murah atau karena sudah terlanjur kontrak. Mulailah menganalisa efektivitas suatu desinfektan terhadap masing-masing kelompok mikroorganisme yang ada. Rotasi penggunaan suatu desinfektan bukanlah disebabkan oleh adanya BP yang resisten, tetapi lebih disebabkan oleh adanya perubahan BP yang dominan dalam suatu area peternakan.

2. Mencegah Kontak Antara BP dengan Ayam

Selain lingkungan yang bersih alias minim BP, ayam yang dipelihara juga akan tetap sehat jika tidak ada induksi BP baru ke lingkungan ayam yang dipelihara. Ada beberapa cara atau bentuk tindakan yang dapat digunakan untuk mencegah induksi atau kontak baru antara ayam yang dipelihara dengan BP yang patogen, yaitu:

  • Mengatur lalu lintas karyawan (employee), kendaraan (vehicle), peralatan peternakan (fomite) dan kontrol hewan-hewan liar di sekitar ayam (ferret animals) sesuai dengan konsep “biosecurity” yang baku. Hal ini cukup penting, karena penulis pernah menemukan kesalahan dalam menentukan rute kendaraan yang membawa pakan di dalam suatu peternakan dari gudang pakan ke kandang-kandang ayam yang ada. Kandang-kandang ayam yang bermasalah seharusnya mendapat pengiriman pakan yang terakhir, dengan kata lain, rute mobil pembawa pakan tersebut harus selalu dievaluasi, sesuai dengan kondisi kesehatan ayam dalam masing-masing kandang.
  • Secara rutin melakukan pemeriksaan kualitas sumber-sumber air yang akan digunakan untuk peternakan yang bersangkutan, karena BP dapat masuk ke lingkungan peternakan melalui air. Pemeriksaan kandungan mikroba dalam air secara rutin tentu saja akan membantu menentukan strategi pengolahan atau perlakuan air yang tepat untuk mencegah kontak antara BP dengan ayam yang ada.
  • Pakan ayam bisa juga “ditumpangi” oleh BP tertentu untuk masuk ke dalam lokasi peternakan. Oleh sebab itu, penanganan, penyimpanan dan transportasi pakan haruslah sesuai dengan tatalaksana pakan yang baku.
  • Insekta seperti lalat kandang atau tikus (rodensia), juga dapat merupakan media potensial untuk membawa BP ke lingkungan ayam yang dipelihara. Lakukan kontrol secara rutin dengan menggunakan insektisida atau racun tikus yang cocok dengan kondisi yang ada.

3. Meningkatkan Daya Tahan Tubuh Ayam

Yang jelas, ayam akan tetap sehat jika total energi dan bahan-bahan nutrisi lain yang dikonsumsi setiap hari memenuhi strandard kebutuhan masing-masing strain (nutrient intake). Dengan melakukan monitoring yang ketat terhadap tingkat konsumsi pakan setiap harinya, maka secara tidak langsung peternak sudah berusaha meningkatkan daya tahan tubuh ayam dalam menghadapi BP yang ada.

Di lain pihak, lingkungan ayam yang nyaman tentu saja akan mengurangi level stress pada ayam. Daya tahan tubuh ayam akan lebih baik dalam lingkungan dengan kadar amonia yang rendah, tidak berdebu, cukup oksigen, temperatur dan kelembaban yang sesuai, serta tidak terlalu padat (zone of thermal-neutrality).

Pada akhirnya, penggunaan vaksin yang cocok dan dengan program yang sesuai dengan tantangan BP lapangan jelas akan membantu meningkatan daya tahan tubuh ayam secara nyata. Juga penggunaan bahan-bahan antimikroba untuk program pencegahan ataupun kontrol BP yang ada sangat membantu memperbaiki kondisi tubuh ayam. Antimikroba yang dipakai haruslah strategik dan efektif, artinya cocok untuk BP yang ada dan juga strategis dalam penggunaannya.

Dengan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa untuk mencegah terjadinya ledakan kasus penyakit di suatu lingkungan peternakan ayam tidaklah terlalu sulit, asal secara konsisten melaksanakan hal-hal yang telah disebutkan dan itu tidak lain adalah implementasi tatalaksana peternakan yang baik. Penggunaan vaksin dan preparat antimikroba (antibiotika) hanyalah suatu “asesori” dalam tindakan untuk mencegah suatu kasus penyakit di peternakan. Jadi, adalah suatu kesalahan yang sangat besar, jika hanya mengandalkan vaksin dan obat dalam mencegah penyakit di peternakan. (toe)

Sumber: www.majalahinfovet.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>