Fokus: Nekrotik Enteritis & Koksidiosis: Duet Maut Pembawa Kematian

Nekrotik Enteritis & Koksidiosis: Duet Maut Pembawa Kematian

www.jurnalpeternakan.com

Nekrotik Enteritis & Koksidiosis:

Duet Maut Pembawa Kematian

 

Kombinasi atau yang biasa disebut dengan istilah Duet ternyata juga berlaku dalam penyakit unggas. Kita familiar dengan penyakit CRD kompleks sebagai penyakit mematikan pada saluran pernafasan yang disebabkan oleh infeksi Mycoplasma gallisepticum dan E.coli. Ada pula yang tak kalah mematikan, yakni duet antara Nekrotik Enteritis dan Koksidiosis. Kombinasi keduanya membuat peternak ketar-ketir.

 

Awal Mula

Jika peternak ditanya “Pak, ayamnya sudah pernah kena koksidiosis atau nekrotik enteritis..?” Semua pasti sepakat menjawab “Aduh, jangan sampai deh”. Koksidiosis dan nekrotik enteritis, keduanya sama-sama “beroperasi” di saluran cerna, utamanya usus. Bedanya yang satu penyebabnya adalah protozoa (Eimeria sp.), yang satunya lagi adalah bakteri (Clostridium perfringens).

Jika membuka kembali buku atau diktat kuliah penyakit unggas, secara keseluruhan ada 12 jenis Eimeria yang dibedakan berdasarkan lokasi lesio, bentuk lesio, bentuk dan ukuran berbagai stadium perkembangan (ookista, schizont, merozoit), lokasi di jaringan dan waktu sporulasinya.

Dari ke-12 jenis Eimeria tersebut ada sembilan spesies yang mampu menginfeksi ayam, yaitu E. acervulina, E. brunetti, E. maxima, E. necratix, E. mivati, E. mitis, E. praecox, E. tenella dan E. hagani. Namun dari kesembilan spesies Eimeria sp. itu tidak kesemuanya bersifat patogen pada ayam. Ada lima spesies Eimeria sp. yang patogen pada ayam, yaitu E. tenella, E. maxima, E. necratix, E. acervulina dan E. brunetti, kesemuanya menjadi momok bagi peternak.

Hampir senada dengan koksidiosis, nekrotik enteritis juga mengakibatkan kerusakan pada usus, bedanya nekrotik enteritis adalah penyakit bakterial yang bersifat sporadik pada ayam yang disebabkan infeksi Clostridium perfringens tipe A dan tipe C. Seperti yang disebutkan di atas tadi, di lapangan kasus koksidiosis dan nekrotik enteritis sering berjalan beriringan.

Hal ini bisa terjadi karena saat koksidia menyerang terjadi perdarahan dan kerusakan jaringan pada ileum yang mentrigger adanya kolonisasi bakteri anaerob, yaitu Clostridium perfringens. Adanya kolonisasi bakteri anaerob tentunya berlanjut dengan serangan nekrotik enteritis atau kematian jaringan usus.

 

Tak Kenal Ampun

Technical Education & Consultation PT Medion, Drh Christina Lilis, menyatakan bahwa kedua penyakit yang sering “hangout bareng” ini benar-benar mematikan. “Kalau sudah kena penyakit ini akan benar-benar merepotkan, terutama koksidia, karena protozoa itu berbeda dengan bakteri dan virus, jadi agak susah dieradikasi,” katanya.

Ia melanjutkan, secara normal di dalam usus ayam yang sehat terdapat bakteri C. perfringens sebagai bakteri komensal (tidak menyebabkan terjadinya outbreak penyakit). Namun, hubungan ini bisa berubah menjadi parasitisme disaat kondisi ayam sedang buruk atau tidak fit dan didukung dengan kondisi lingkungan yang tidak nyaman (tantangan agen penyakit, stress, dll), maka wabah nekrotik enteritis dapat terjadi. Pada ayam yang mati karena NE, jumlah C. perfringens yang dapat diisolasi pada usus ialah > 107-108 CFU per gram isi usus, sedangkan jumlah bakteri C. perfringens di dalam usus ayam pedaging yang sehat berkisar 0-105 CFU tiap gram isi usus.

Jika berbicara mengenai kerugian, serangan koksidiosis (apalagi berkombinasi dengan nekrotik enteritis) adalah jagonya. Tingkat kematian yang disebabkan penyakit ini bisa mencapai 80-90% dari total populasi pada ayam broiler, selain itu produksi telur pada layer sudah pasti terganggu. Seakan tidak puas sampai di situ, serangan koksidiosis juga akan menimbulkan efek imunosupresif yang menjadikan ayam rentan terhadap infeksi penyakit lainnya.

Bagaimana bisa sampai imunosupresif? Lilis lebih lanjut menerangkan. Hal pertama yang terjadi adalah kerusakan pada jaringan mukosa usus menyebabkan proses pencernaan dan penyerapan zat nutrisi tidak optimal. Akibatnya, terjadi defisiensi nutrisi pembentukan antibodi jadi terganggu.

Kedua Peyer’s patches dan caeca tonsil (organ pertahanan di mukosa usus) mengalami kerusakan, jika kedua organ ini rusak akan mengakibatkan ayam lebih rentan terinfeksi penyakit lainnya. Ketiga, di sepanjang jaringan mukosa usus terdapat jaringan limfoid penghasil antibodi (IgA), di mana IgA tersebut akan terakumulasi di dalam darah. Kerusakan mukosa usus akan mengakibatkan keluarnya plasma dan sel darah merah, sehingga kadar IgA sebagai benteng pertahanan di lapisan permukaan usus pun menurun. “Sudah menyebabkan kematian, produksi turun, imunosupresif, kurang mengerikan apalagi coba duet penyakit ini?,” ucap Lilis.

 

Kalau Sudah Kena, Harus Bagaimana?

Bagaimana cara mengobati koksidiosis? Apakah yang harus dilakukan kalau-kalau di suatu peternakan terjadi wabah koksidiosis plus nekrotik enteritis? Ini pertanyaan sepele, yang jawabannya juga sepele, tetapi implementasi di lapangannya sangatlah sulit.

Kata Prof Charles Rangga Tabbu, Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan UGM, yang harus dilakukan utamanya adalah pencegahan. “Kalau ditanya peternak begitu, saya suruh afkir semuanya dulu. Karena jawaban saya adalah jangan sampai kena!,” sergahnya. Bukan tanpa sebab ia berkata begitu, memberantas koksidiosis ditambah nekrotik enteritis bukannya mustahil, tetapi memakan banyak “pengorbanan” waktu, tenaga dan tentunya biaya dengan hasil yang pasti tidak sebanding.

Charles melanjutkan, bahwa harus diketahui dengan pasti musuh yang sebenarnya. “Siklus hidup Eimeria itu panjang untuk menjadi sebuah individu sempurna. Oleh karenanya, kita harus memotong rantai siklus hidupnya, sehingga ia tidak bisa berkembang lebih lanjut, bagaimana caranya? Timbul pertanyaan lagi kan?,” ucap Prof Charles sambil bercanda.

Lebih lanjut, pria kelahiran 1948 tersebut menerangkan bahwa semua dimulai dari fase ookista. Ookista ini di keluarkan bersama dengan feses ayam, jika lingkungan sekitar lembab dan basah, ookista akan terus berkembang dan bersporulasi hingga akhirnya mampu menginfeksi ayam.

“Supaya ookistanya enggak lanjut bersporulasi, kuncinya peternak cuma satu R.A.J.I.N. Rajin dalam artian program sanitasi dan desinfeksi secara ketat harus dijalankan,” tuturnya. Kalau ookista sudah dihentikan sporulasinya, apakah akan begitu saja berhenti siklusnya? Perlu diketahui, ookista dari Eimeria tahan terhadap desinfektan yang banyak dijual.

Tidak hanya tahan terhadap banyak desinfektan, ookista ini ukurannya sangat kecil, sehingga ia mudah diterbangkan oleh angin dan tersebar kemana-mana. Ookista juga mudah terbawa oleh peralatan kandang, manusia, transportasi, serangga atau hewan lainnya lalu tersebar ke wilayah lain.

“Yang paling sederhana cara yang bisa kita lakukan untuk memberantas ookista yakni memberikan kapur atau soda kaustik pada permukaan litter yang lembab dan basah,” tutur Charles. Kapur dan soda kaustik merupakan bahan aktif yang bersifat basa. Ketika kedua bahan tersebut larut dalam air atau media yang basah (litter), maka akan menghasilkan suhu yang tinggi.

Sementara, ookista tidak tahan terhadap suhu ekstrim panas > 55oC. Ookista juga dapat mati jika berada pada kondisi suhu sangat dingin (suhu beku) dan kekeringan yang ekstrim. Inilah mengapa istirahat kandang juga menjadi poin penting dalam penyebaran ookista koksidia.

Charles mengimbau, agar peternak jangan lupa menerapkan manajemen pemeliharaan ayam yang baik dan benar. Karena ookista dapat berkembang dengan baik pada litter yang lembab, sebisa mungkin kualitasnya diperhatikan. lakukan pembolak-balikan litter untuk mencegahnya basah.

“Pada masa brooding, kalau bisa litter sering dibolak-balikkan secara teratur setiap 3-4 hari sekali, mulai umur 4 hari sampai umur 14 hari. Ini biasanya peternak suka malas,” ujarnya. Litter yang basah dan menggumpal sebaiknya segera diganti, jika gumpalan litter sedikit, maka dapat dipilah dan di keluarkan dari kandang. Namun jika jumlah litter yang menggumpal atau basah banyak, sebaiknya tumpuk dengan yang baru hingga yang menggumpal tidak tampak.

Kalau sudah melakukan itu semua tapi masih kena dan berulangkali bagaimana? Harusnya kan sudah kebal Prof? Itu juga pertanyaan yang masih sering ditanyakan pada Prof. Charles. “Betul memang infeksi koksidia bisa menstimulasi pembentukan kekebalan. Namun, kekebalan akibat koksidia ini baru terbentuk setelah 3-4 siklus hidupnya di dalam tubuh ayam, cukup lama bukan?,” sergahnya.

Kalau untuk kekebalan yang cukup instan, biasanya ada program vaksinasi koksidia. Pemberian vaksin juga salah satu cara pencegahan koksidiosis dengan dihasilkannya kekebalan dari koksidia dalam tubuh ayam, hanya saja vaksin juga memliki kelemahan. “Enggak ada kekebalan silang antar spesies, jadi penggunaan vaksin koksidiosis enggak akan efektif kalau strain vaksin koksidiosis berbeda dengan strain yang menyerang. Kalau seperti ini, identifikasi harus benar,” tutupnya.

 

Koksidiostat, Bagaimana Nasibnya Kini?

Langkah pencegahan koksidiosis lainnya yang dapat diterapkan ialah memberikan koksidiostat secara terus-menerus pada ransum. Pemberian koksidiostat pada ransum dimaksudkan untuk mengontrol dan menekan perkembangan koksidia sampai level terendah.

Contoh koksidiostat yang digunakan ialah antibiotik golongan ionofor (monensin, salinomycin, narasin, maduramycin). Beberapa pabrik pakan pastinya sudah menambahkan koksidiostat ke dalam ransum yang diproduksinya. Meski demikian, dengan adanya peraturan baru dari Kementerian Pertanian mengenai Antibiotic Growth Promoter (AGP) koksidiostat dan antibiotik lainnya tidak boleh diberikan secara terus-menerus, dan hanya boleh diberikan ketika terjadi kasus saja, itupun hanya boleh maksimal seminggu dengan pengawasan dokter hewan.

Terbitnya peraturan tersebut lantas menyebabkan kontroversi terutama pada industri pakan ternak. Ada yang setuju, banyak pula yang protes, namun palu sudah diketuk dan show must go on. Menanggapi kontroversi tadi, Direktur Kesehatan Hewan, Kementan, Drh Fadjar Sumping Tjatur Rasa, mengatakan, upaya ini dilakukan pemerintah dalam mengurangi resistensi dan residu antibiotik yang kian mengkhawatirkan, oleh karenanya ia meminta agar seluruh stakeholder memandang ini dari sisi positif.

“Nanti kan kalau enggak pakai antibiotik produknya enggak ada cemarannya, enggak gampang resisten juga bakterinya kan. Value dari produk juga meningkat walaupun cost meningkat. Karena produk yang bebas antibiotik kan bisa diekspor begitu,” kata Fadjar.

Lebih lanjut ia mengatakan, bahwa banyak produk-produk baru yang dapat menggantikan antibiotik, koksidiostat dan lain sebagainya, namun lebih safe (aman). Oleh karenanya, pemerintah akan berusaha menggalakkan penggunaan produk-produk alternatif tersebut.

Selain itu, ia tidak terima jika pemerintah lepas tangan akan permasalahan ini. Buktinya adalah masih diperbolehkannya penggunaan antibiotik pada pakan, namun dalam dosis terapeutik (pengobatan) dan hanya boleh digunakan maksimal tujuh hari, dengan catatan ada kasus penyakitnya di peternakan tersebut. “Kita akan awasi, tujuan kita baik, kita juga fleksibel, makanya jangan dianggap ribet, kita enggak lepas tangan gitu aja,” tandasnya. (CR)

Sumber: www.majalahinfovet.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>