FOKUS: Mewaspadai Kembalinya AI dan Serangan Penyakit Infeksius Baru

Mewaspadai Kembalinya AI dan Serangan Penyakit Infeksius Baru_4

Mewaspadai Kembalinya AI

dan Serangan Penyakit Infeksius Baru

Siapa tak kenal Avian Influenza (AI)? Adalah bohong jika ada peternak yang minimal pernah mendengar mengenai penyakit ini. Zoonosis berbahaya, kerugian ekonomi, kepanikan massal, serta ditutupnya keran ekspor-impor produk perunggasan, mungkin merupakan hal yang “ngeri-ngeri sedap” yang menanungi AI. Lalu bagaimanakah perkembangan AI terkini? Lalu bagaimana pula dengan penyakit infeksius baru yang mengancam?

Banyak kalimat yang dapat melukiskan betapa mengerikannya serangan AI bagi sektor peternakan di suatu negara. Penyakit yang disebabkan oleh virus influenza tipe A yang berasal dari family Orthomyxoviridae ini sudah menjadi wabah di seluruh dunia. Hampir seluruh benua di dunia telah merasakan dahsyatnya serangan AI. Bukan hanya unggas, korban manusia pun berjatuhan, hal ini tentunya selain mendapatkan perhatian organisasi kesehatan hewan dunia (OIE) juga menjadi perhatian bagi organisasi kesehatan dunia (WHO).

Perkembangan AI di Indonesia

Sejak 2003 lalu AI telah eksis di Indonesia, saat itu terjadi wabah penyakit yang menyebabkan kematian mendadak pada unggas dengan gejala klinis seperti penyakit tetelo (ND). Sampai akhirnya kemudian didalami bahwa wabah tersebut disebabkan oleh penyakit baru bernama AI dari subtipe H5N1.

Hari demi hari, tahun demi tahun, secara perlahan tapi pasti AI menyebar ke seluruh wilayah Indonesia. Bukan hanya virus dari subtipe H5N1, ada juga H9N2 yang disebut-sebut sebagai low pathogenic AI. Awalnya wabah H9N2 ini terjadi pada ayam petelur, namun kini H9N2 juga “doyan” menginfeksi broiler.

Berdasarkan data yang dihimpun dari PT Medion, pada 2018 kemarin kasus AI masih banyak diperbincangkan peternak Indonesia meskipun tidak seramai 2017. Data dari tim Technical Services Medion yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, menunjukkan bahwa kejadian kasus tersebut masih menduduki peringkat keempat penyakit viral pada ayam pedaging dan pejantan, serta peringkat kedua penyakit viral pada ayam petelur.

Mewaspadai Kembalinya AI dan Serangan Penyakit Infeksius Baru_1

Masih menurut data dari Medion, berdasarkan sebarannya kasus AI selama 2018 pada ayam pedaging dan petelur, menunjukkan pola musiman (Grafik 3 dan 4), di mana peningkatan kasus rata-rata terjadi saat musim hujan pada awal dan akhir tahun, serta saat musim kemarau basah sekitar April-Mei.

Mewaspadai Kembalinya AI dan Serangan Penyakit Infeksius Baru_2

Drh Christina Lilis dari Divisi Technical Education & Consultation PT Medion menyatakan, bahwa pada 2017 diketahui adanya introduksi kasus LPAI (Low Pathogenic Avian Influenza) subtipe H9N2 di Indonesia.

”Dari hasil pemantauan tim Technical Services Medion yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, data sampel yang terkumpul menunjukkan bahwa hingga 2018 kejadian kasus LPAI lebih tinggi dibandingkan HPAI. Namun pada 2018 mengalami penurunan dibandingkan 2017,” kata Lilis. Hal ini bisa jadi merupakan indikasi bahwa H9N2 penyebarannya lebih merata ketimbang H5N1.

Mewaspadai Kembalinya AI dan Serangan Penyakit Infeksius Baru_3

Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Drh Arief Hidayat, Technical Department PT Mensana Aneka Satwa. Menurutnya, menurunnya kasus dan kejadian AI kemungkinan disebabkan oleh perubahan iklim dan musim.

“Bisa jadi karena musim yang berubah, cuaca berubah sehingga daya tahan virus jadi berkurang. Kalau kita perhatikan memang 2017-2018 musim kemarau lebih panjang, mungkin dari situ juga. Atau bisa jadi karena peternak sudah paham betul mengenai biosekuriti, bisa jadi,” tutur Arief.

Ketika ditanya mengenai dominasi kasus AI yang terjadi di lapangan, Arief menjawab di lapangan keduanya sudah sama-sama mendominasi. “Hasil pengujian sampel dari peternak kita menunjukkan bahwa H9N2 juga sudah bisa infeksi ayam broiler, tidak hanya layer saja. Manifestasi klinisnya ayamnya jadi cepat tumbuh, sementara H5N1 clade 2.3.2 yang pada 2015-an itu heboh menyerang itik juga kita temukan di broiler. Jadi sama saja, sama-sama bahaya buat peternak,” jelasnya.

Direktur Kesehatan Hewan Kementan (Dirkeswan), Drh Fadjar Sumping Tjatur Rasa, juga angkat bicara mengenai masalah AI. Ia menyatakan bahwa kasus AI pada hewan dan manusia pada 2018 tidak seheboh seperti 2015-2016 lalu. “2015 lalu kan banyak itik mati kena AI 9.3.2, terus 2017 heboh penyakit 90-40 (AI H9N2), sepertinya pada 2018 AI tidak seramai waktu itu,” kata Fadjar.

Ia juga yakin selain perubahan musim, meningkatnya kesadaran peternak, serta program pengendalian yang tepat dapat menekan angka kejadian infeksi AI di berbagai daerah di Indoensia pada 2018 lalu. “Alhamdulillah, kalau kita bisa menekan kejadian AI sampai seminimal mungkin, ini kan usaha dari berbagai pihak, tidak bisa kita pungkiri juga,” ucapnya.

 

Ketika IBH Menyapa

Saat ini penyakit IBH seakan menjadi trending topic di jagat perunggasan Indonesia. Penulis sendiri pernah melakukan pengujian laboratorium terhadap beberapa sampel yang ternyata dinyatakan positif IBH. Ternyata pengalaman penulis juga diamini oleh beberapa praktisi perunggasan, misalnya Drh Arief Hidayat.

“Saya pernah beberapa kali ambil sampel lalu diuji di laboratorium kami dan laboratorium universitas, hasilnya sama Inclusion Body Hepatitis (IBH), beberapa teman saya juga awalnya menduga itu IBD (Gumboro) tapi ternyata bukan itu diagnosisnya,” ucap Arief.

Lebih lanjut dikatakannya, ia sejak lama mewaspadai akan adanya ancaman penyakit tersebut. “Sejak 2015 saya kok yakin, sampai di forum dokter hewan perunggasan saya katakan ini adenovirus bukan EDS, tapi yang lain kebanyakan masih belum yakin akan hal itu, sampai akhirnya mereka temukan juga, baru deh pada yakin kalau ini penyakit baru,” ungkapnya.

Ia melanjutkan, jika ditanya asal virus tersebut darimana akan panjang ceritanya. “Virus ini pernah heboh di Thailand beberapa waktu yang lalu kalau tidak salah pada 2007, lalu di Indonesia itu temuan pertama kali sejak 2015 itu, tapi masih berupa dugaan sampai akhirnya ketahuan kalau itu IBH pada 2017, banyaknya itu di ayam broiler,” pungkas Arief.

Hal senada juga dikatakan oleh Drh Christina Lilis, menurut hasil pemantauan tim Medion, berbagai upaya lebih lanjut ditempuh, hal ini dikarenakan kasus IBH ini terdengar mulai merebak kembali sejak beberapa tahun terakhir hampir tidak pernah terjadi di lapangan. Peneguhan diagnosa IBH dilakukan dengan uji laboratorium PCR dan sequencing.

“Ini kasus pernah terjadi tapi saya lupa kapan pastinya, jadi jatuhnya re-emerging disease, walaupun enggak bersifat zoonotik, tapi kematian akibat penyakit ini cukup tinggi bisa sampai 60%,” katanya.

Di Indonesia, penyakit ini dapat ditemukan pada berbagai daerah yang padat dengan peternakan ayam, terutama broiler. Kemungkinan merebaknya kasus IBH saat ini dikarenakan Adenovirus kerap kali menyerang ayam yang mengalami kondisi imunosupresi dan rentan terhadap penyakit ditambah dengan perubahan cuaca ekstrem serta kondisi kandang yang kurang nyaman.

IBH biasanya ditandai dengan kondisi ayam yang lemas dan kurang bergairah, padahal ketika diperiksa lebih detail dalam nekropsi terjadi hepatitis, sehingga menyebabkan produksi sel darah merah terganggu (anemia). Celakanya, virus IBH memiliki kesukaan (tropisme) pada organ limfoid primer (Bursa farbricius dan Timus) dan sekunder (Limpa, sumsum tulang, dll). Disitulah virus juga akan “beraksi”, sehingga organ kekebalan ayam menjadi rusak dan menyebabkan imunosupresi. Jika kondisi ini sudah terjadi, sudah pasti kematian dengan persentasi tinggi terjadi. Lebih mengkhawatirkan lagi, IBH tidak pandang usia, ayam muda maupun tua dapat terinfeksi penyakit ini.

Pemerintah dalam hal ini Direktorat Kesehatan Hewan sudah menyatakan sikap. Menurut Diskeswan, Drh Fadjar Sumping, laporan resmi terkait IBH sudah ia terima dan ia sudah berdiskusi dengan beberapa stakeholder produsen vaksin agar segera mengambil tindakan.

“Kami sudah berdiskusi dengan stakeholder, rencananya mungkin akan segera dibuat vaksin penyakit ini, namun para ahli mengatakan bahwa membuat vaksin IBH ini susah-susah gampang (lebih banyak susahnya) karena memang sifat dari virus ini sendiri, tapi hal tersebut bukannya tidak mungkin, intinya kami tetap rembug mengenai masalah ini dan akan berusaha semaksimal mungkin, mohon dukungannya,” pungkas Fadjar. (CR)

Sumber: www.majalahinfovet.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>