FOKUS: Memaksimalkan Potensi Produksi dengan Closed House

Memaksimalkan Potensi Produksi dengan Closed House_3

Memaksimalkan Potensi Produksi dengan Closed House

Semakin hari konsumsi daging dan telur ayam per kapita masyarakat Indonesia semakin meningkat. Berbagai hal pula dilakukan stakeholder di sektor perunggasan untuk terus memacu dan mengefisienkan produksinya, salah satunya dengan membangun kandang closed house.

Kenaikan konsumsi masyarakat tentunya harus pula dibarengi oleh peningkatan produksi, bila keadaan tidak berimbang maka akan terjadi kelangkaan. Disaat yang bersamaan, keterbatasan lahan juga menjadi kendala dalam tumbuhnya bisnis perunggasan di Indonesia. Oleh karenanya, upaya yang dilakukan integrator maupun peternak dalam meningkatkan kapasitas produksi dan meningkatkan efisiensi mereka yakni dengan melakukan instalasi closed house. Namun sistem ini juga punya kekurangan dan kelebihan.

Ayam Nyaman, Produksi Aman

Nyatanya perkembangan teknologi dibidang pemuliaan unggas sangat berimbas pada performa unggas. Misalnya saja 20 tahun lalu ayam broiler baru bisa dipanen pada usia 40-45 hari dengan bobot 1 kg lebih sedikit, namun kini peternak sudah bisa memanen broiler zaman now pada usia 35-an hari dengan bobot 2 kg bahkan lebih.

Peningkatan performa seperti ini tentunya memiliki kompensasi yang harus dibayar, salah satunya pada aspek kesehatan ternak. Hal tersebut disampaikan oleh Guru Besar FKH IPB, Prof Drh I Wayan Teguh Wibawan, yang juga konsultan kesehatan unggas. Kepada Infovet, Wayan mengungkapkan ayam di zaman sekarang sangat rentan terhadap penyakit karena kompensasi dari peningkatan gen pertumbuhannya.

“Karena gen pertumbuhannya dipercepat, gen-gen lainnya kan pasti di-suppress, sehingga ayam jadi mudah stres (tertekan) terutama oleh keadaan lingkungan. Nah, ketika ayam berada dalam keadaan stres oleh cekaman lingkungan, sistem imunnya otomatis menurun karena hormon glukokortikoid banyak disekresikan, sehingga memengaruhi kinerja timus dan menghambat produksi sitokin dan interleukin yang merangsang dan mengkoordinasikan aktivitas sel darah putih,” tuturnya.

Wayan menambahkan, hal tersebut juga dapat diperparah oleh kondisi nutrisi yang kurang bergizi dan keadaan di kandang yang kurang baik. Bila tingkat amonia di kandang tinggi dan selaput mukosa teriritasi olehnya, maka infeksi bakteri yang seharusnya bersifat komensal dapat terjadi maupun patogen, disinilah penyakit pernafasan bermula. Melalui penjabaran itu, Prof. Wayan menegaskan, karakteristik broiler di era ini sebenarnya tidak cocok dengan sistem pemeliharaan masa lalu yang masih banyak diterapkan peternak Indonesia.

“Ayam zaman now, kita sebut begitu idealnya akan nyaman apabila perbedaan antara suhu tertinggi (siang hari) dikurangi suhu terendah (malam hari) jumlahnya lebih dari atau sama dengan 8° C. Sarat tersebut mutlak harus terpenuhi agar ayam nyaman,” ucapnya.

Lebih lanjut, cara paling mungkin dalam mengatasinya dengan menciptakan lingkungan kandang yang terkontrol atau closed house. Ia pun mencoba memberi gambaran tersebut dengan memposisikan diri sebagai ayam. “Memang anda mau ditempatkan di tempat yang sempit, sumpek dan susah buat napas? Enggak kan? Maka dari itu pun kandangnya tradisional (open house) tetap harus diperhatikan dong,” pungkasnya.

Penggunaan closed house juga efektif dalam mengefisienkan produksi. Seperti yang dialami oleh Fredrick Sebastian di Sukabumi. Generasi kedua dari Atik Jaya Raya Farm tersebut mengakui bahwa sistem closed house memberinya efisiensi lebih dalam beternak.

“Dulu sekali waktu yang pelihara ayam masih orang tua, kita lihat lagi catatannya, ternyata indeks prestasinya kurang bagus, hanya di angka 300-350-an aja, semakin kesini tantangan makin keras, cuaca, penyakit dan lainnya. Akhirnya saya sama dua orang saudara saya berpikir, gimana caranya biar lebih efisien? Akhirnya kita putuskan pasang closed house,” kata Fredrick.

Keputusan yang diambil Fredrick pun berbuah manis, usaha yang dirintis orang tuanya kini lebih maju berkat kandang closed house. Fredrick berujar, bahwa pernah pada satu periode ketika angka indeks prestasi di salah satu kandangnya mencapai angka 491 dengan nilai FCR 1,38 dan rataan bobot ayam 2,1 kg, pencapaian yang fantastis tentunya. Selain itu, Fredrick juga merasa bahwa sistem closed house menjadikan ayam jarang terkena penyakit, sehingga menghemat biaya pengobatan. Perawatan kandangnya pun tergolong mudah dan sederhana, serta tidak banyak membutuhkan operator kandang untuk memelihara populasi ayam yang lebih banyak.

Sementara, Wageningen Economic Research Institute melakukan studi ekonomi pada peternakan ayam broiler yang memakai sistem kandang closed house di Jawa Barat 2016 silam. Hasilnya cukup menarik, menunjukkan bahwa performa produksi pada closed house  lebih baik 11% dibanding sistem kandang tradisional. Biaya produksi per kg berat hidup akhir pun jadi lebih rendah, yang akhirnya menjadikan periode pengembalian seluruh investasi kandang closed house hanya 4,5 tahun. Datanya sebagaimana ditampilkan pada di bawah ini:

 

Perbandingan Performa Produksi Antara Open House dan Closed House

Perbandingan Performa Produksi Antara Open House dan Closed House

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sumber: Wageningen University, 2016.

 

Kendala Permodalan

Penerapan teknologi dalam aspek pemeliharaan tentunya juga membutuhkan biaya lebih. Pasalnya, biaya yang dibutuhkan untuk mendirikan kandang closed house membuat peternak jadi enggan dalam membangunnya. Bukan rahasia umum kalau daging ayam dan telur ayam harganya sangat fluktuatif, sehingga membuat peternak minder duluan dalam membangun closed house, karena mampu membayar hanya saat harga bagus dan akhirnya tidak mampu membayar dan pailit ketika harga jual anjlok.

Walaupun begitu, salah satu peternak di Purworejo, Darmono, tetap nekat membangun kandang closed house. Darmono yang sudah kenyang makan asam-garam dunia perunggasan selama lebih dari 15 tahun menjadi mitra salah satu integrator punya inisiatif lebih. “Orang tua saya sampai bilang saya tidak waras, karena gadaikan sertifikat rumah buat bangun rumah ayam, wong edan,” cerita Darmono.

Ia mengaku, biaya yang ia keluarkan untuk membangun closed house mencapai ratusan juta. “Harga untuk bikin kandang jatuhnya per ekornya sekitar Rp 50 ribu, karena saya buat untuk 10 ribu ekor, jadi sekitar Rp 500 juta, itu sudah terima beres,” ungkap dia.

Darmono mendapatkan dana dari salah satu bank perkreditan rakyat, dimana menurut kalkulasinya ia masih harus mencicil pembiayaan closed house-nya sampai empat tahun lagi. Terlihat berat perjuangan Darmono, namun menurutnya sejak menggunakan closed house budidaya ternaknya lebih efisien dalam penggunaan pakan (15%) dan mengurangi biaya pengobatan (Rp 35/ekor). Selain itu, karena performa yang bagus, ketika harga ayam anjlok, Darmono tidak merasakan imbasnya karena harga pokok produksinya turun.

Ia memberi sedikit “wejangan” kepada peternak lainnya agar tidak usah ragu beralih dengan sistem closed house. “Memang mahal, saya enggak bohong tapi sepadan, terus kalau bisa cari penyedia peralatan closed house yang bagus, terpercaya, berpengalaman, dan servisnya baik, harga juga pasti bersaing dan beda-beda tipis,” ucap Darmono.

Ia berharap, pemerintah lebih memperhatikan nasib para peternak, khususnya di sektor budidaya. Menurutnya apabila harga ayam dan telur stabil, pasti peternak akan lebih semangat dalam beternak. Selain itu, jika memungkinkan diadakan program kredit khusus untuk peternak yang ingin melebarkan sayap usahanya, baik di hulu maupun hilir.

Sementara itu, Huang Tanto Raharjo dari Adam Poultry Equipment, mengatakan bahwa mahal atau murahnya pembuatan kandang closed house itu relatif dan tergantung dari keinginan peternak serta bisa disesuaikan. “Semua itu relatif, mahal atau murahnya itu bisa diatur, kalau menurut saya cloused house ini merupakan tabungan bagi peternak,” tutur Huang.

Maksud dia adalah peternak sebenarnya tidak harus serta-merta membuat closed house dengan sekali jadi, bisa dicicil secara perlahan. “Misalnya, buat dulu semi closed house pakai exhaust fan, kemudian kalau sudah ada biaya lagi baru ditambah ini-itunya, begitu,” kata Huang.

Ia mengemukakan, pihaknya selalu terbuka bagi peternak yang memang hendak melakukan instalasi closed house yang dapat disesuaikan dengan budget yang dimiliki peternak. Ia juga menyebut, mungkin kendala saat ini mengapa peternak terutama broiler, enggan mengadopsi sistem closed house adalah karena masih belum stabilnya harga live bird ketimbang harga telur.

“Saya rasa begitu takutnya mereka mau invest di closed house periode berikutnya hasil buruk, malah berhutang atau rugi, sehingga takut kalau dibuat closed house enggak punya cadangan untuk menutup kerugian,” tandasnya. (CR)

Sumber: www.majalahinfovet.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>