Fokus: Jangan Heboh dan Panik Sikapi Kasus AI (H9N2)

Jangan Heboh dan Panik Sikapi Kasus AI (H9N2)

Jangan Heboh dan Panik Sikapi Kasus AI (H9N2)

((Sejak merebak di Indonesia pada 2003 lalu, virus Avian Influenza (AI) menjadi momok nomor satu di dunia perunggasan Indonesia. Celakanya, AI yang sekarang mampu menyesuaikan diri dengan keadaan zaman, sehingga semakin merepotkan dunia perunggasan di zaman now, benarkah begitu?))

Selalu membuat heboh dan kepanikan massal. Beberapa tahun belakangan jika diperhatikan pemberitaan media massa terkait AI pastinya semua pihak akan geger. Pergerakan cepat langsung dilakukan dan segala usaha dikerahkan untuk menanggulanginya. Walaupun jarang dilaporkan, AI selalu menjadi topik seksi yang tidak pernah ada habisnya untuk dibahas.

Tahun 2017, virus AI baru ditengarai menjadi faktor utama penurunan produksi telur pada layer di Sulawesi Selatan. Saat itu peternak dikejutkan dengan turunnya nilai hen day dari 90% menjadi 40%. Tanpa sebab yang jelas tiba-tiba virus AI H9N2 langsung dituduh menjadi penyebabnya.

Menegakkan Diagnosis

Sebagai upaya mencari penyebab utama dari penurunan produksi telur yang sangat fantastis tersebut, para ahli di bidang perunggasan melakukan investigasi demi mencari kebenaran akan hal tersebut. Tanpa terkecuali dengan yang dilakukan oleh Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Prof I Wayan Teguh Wibawan, kepada awak Infovet ia berbagi pengalaman, data dan fakta yang ia dapatkan di lapangan.

Fakta Pertama yang ia beberkan adalah mengenai keberadan material genetik dari virus H9N2 yang telah terdeteksi pada ternak komersil dan breeding farm yang ada di beberapa daerah di Indonesia. “Memang sudah ada dan terdeteksi, kemarin kita lakukan bersama antara pemerintah dan industri vaksin,” kata Prof Wayan.

Kedua ia juga membeberkan bahwa virus AI H9N2 tersebut juga berhasil diisolasi dan propagasi dari ayam yang mengalami penurunan nilai hen day. Yang lebih mengejutkan lagi, ternyata ditemukan adanya titer antibodi spesifik pada kelompok ayam yang tidak divaksin H9N2. “Nah, kalau dari segi ilmu imunologis kan artinya virus tersebut ada di lingkungan kandang atau dari luar kandang, sehingga menginduksi antibodi spesifik,” ungkapnya.

Fakta Ketiga yakni melihat gejala klinis pada bedah bangkai yang hasilnya menunjukkan adanya kelainan berupa perdarahan organ dan jaringan (seperti kasus H5N1), peradangan pada organ pernafasan (tracheitis, bronchitis, baik ringan maupun berat yang disertai perkejuan), serta peradangan pada folikel dan saluran telur. “Para ahli yakin ini bukan hanya H9N2, karena LPAI tidak sekompleks itu seharusnya. Pasti ini juga ada infeksi campuran dari penyakit lainnya,” kata dia.

Temuan yang dilaporkan oleh Prof Wayan dan para ahli lainnya dilaporkan kepada pemerintah dan kemudian ditindaklanjuti. Dengan menggunakan Uji Postulat Koch ditemukan hasil sebagaimana berikut:

  1. Pada infeksi isolat murni dari virus H9N2 tidak ditemukan adanya gejala PA yang berarti, ayam petelur yang digunakan dalam pengujian (SPF) juga tampak sehat.
  2. Infeksi isolat virus murni H9N2 dapat menurunkan tingkat produksi telur sekitar 80% sampai jatuh ke level produksi 20%.
  3. Penelitian tersebut tadi masih bersifat terbatas.

Urgensi Vaksin H9N2

Dengan adanya temuan tersebut, pemerintah didesak agar mengizinkan penggunaan vaksin AI H9N2. Bahkan rumor yang beredar pula menyebutkan bahwa pemerintah sudah menyiapkan pelaksanaan produksi vaksin AI H9N2. Jika nanti jadi dilaksanakan, maka Indonesia akan memiliki dua jenis vaksin AI yakni H5N1 dan H9N2.

Menurut Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Prof Drh CA Nidom, Indonesia harus belajar dari masa lalu. Maksudnya adalah ketika dulu AI mewabah pertama kali pada 2003 silam, langkah program vaksinasi AI kala itu dilakukan untuk menyelamatkan peternakan unggas.

“Kala itu wabah terjadi, kepanikan melanda, korban bukan hanya dari unggas tapi juga manusia, sehingga kajian cepat dibutuhkan, oke lah program vaksin diambil sebagai jalan keluar, tapi ternyata ada efek berantai yang kita luput,” kata Prof Nidom. Efek berantai yang dimaksud olehnya yakni vaksinasi AI yang dilakukan pada saat itu menyebabkan perputaran virus H5N1 di lingkungan masih berlangsung dengan struktur virus yang variatif dan karakter yang berubah-ubah.

Akibatnya juga, secara ekonomis ketika suatu negara terkena wabah terutama zoonosis, negara lain yang tadinya mengimpor produk unggas dari Indonesia jadi menutup rapat-rapat pintu impornya dikarenakan wabah AI tadi. Produsen final product perunggasan Indonesia jadi tidak punya pintu keluar darurat ketika terjadi oversupply di negeri sendiri seperti yang terjadi beberapa tahun belakangan ini.

Oleh karena itu, Prof Nidom menilai bahwa Indonesia kini harus lebih berhati-hati apabila hendak melakukan program vaksinasi terhadap virus H9N2. Yang ia takutkan, hal yang sama seperti sebelumnya akan kembali terulang. “Saya rasa tidak ada yang mau mengulang mimpi buruk sampai dua kali, ya kan? Makanya kita harus sangat berhati-hati,” jelasnya.

Menurut dia, jika memang hanya karena penurunan produksi telur semata, vaksinasi H9N2 bukan satu-satunya jalan keluar. Masih ada banyak yang harus diperbaiki misalnya biosekuriti, perbaikan ransum pakan, serta perbaikan manajemen lainnya.

Ia juga menyebutkan, apabila virus H9N2 dibiarkan dalam struktur alamiahnya, dampaknya masih bias diperkirakan jika H9 berkolaborasi dengan virus influenza lainnya. Namun akan lain cerita apabila nanti vaksinasi H9N2 jadi dilakukan bersama dengan vaksinasi H5N1.

“Begini maksud Saya, vaksinasi itu akan menyebabkan sensitiasi unggas pada virus H9N2 dan virus lain, juga akan memungkinkan adanya mutase dari si virus, entah cepat entah lambat. Apalagi kalau dia (H9N2) berkolaborasi dengan H5N1, entah efek apa yang akan terjadi,” terang dia.

Kekhawatiran Prof Nidom bukannya tanpa alasan, menurut hasil riset yang dilakukan di China oleh Dr Hoa dari Universitas Yangzhou dan dimuat di Frontiers in Microbiology pada 2017 kemarin, ditemukan bahwa koalisi H5N1 dan H9N2 genotipe s akan menghasilkan virus H5 baru yang sifat patogenik dan daya bunuhnya lebih lama.

Selain itu, terdapat perubahan pada pola penularan virus, yang awalnya virus asli menular melalui udara (airborne) kini dapat pula menular melalui kontak langsung. “Intinya begini, mahluk sekecil virus saja punya tatacara hidup tersendiri, kita manusia harus tahu tatacara mereka supaya enggak kena dampak negatif dari mereka itu,” tuturnya.

Awak Infovet mencoba mencari tahu mengenai perkembangan mengenai rencana pemerintah untuk memproduksi vaksin H9N2. Pada sebuah acara, Infovet berkesempatan menemui Drh Fajar Sumping Tjatur Rasa selaku Direktur Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian. Menurutnya, rencana pemerintah mengenai produksi vaksin H9N2 sedang dalam kajian bersama para ahli dan stakeholder lainnya.

“Masih dalam tahap pengkajian, kita juga butuh proses dan tidak bisa memutuskan begitu saja. Banyak yang bilang kita harus lebih hati-hati dari sebelumnya dan kita berusaha sehati-hati dan se-detail mungkin agar tidak terjadi celah,” ujar Drh Fadjar.

Ia juga mengingatkan kepada para peternak agar tidak menjadi user vaksin H9N2 ilegal, karena ia mendengar selentingan bahwa ada oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab berencana untuk mengimpor vaksin H9N2 diam-diam dan mengedarkannya di Indonesia. “Jika ada yang kedapatan seperti itu, pasti kita hukum seberat-beratnya, lah wong kita di sini berusaha mengamankan negara, dia kok malah membahayakan,” pungkasnya berapi-api.

Biosekuriti Bukan Sekedar “Omong Kosong”

Banyak yang memandang remeh pada aspek biosekuriti, padahal aspek ini merupakan aspek penting dalam manajemen peternakan unggas. Peternak seakan abai terhadap biosekuriti karena menurut mereka obat-obatan dan vaksinasi dinilai masih dapat menyelamatkan keamanan di kandangnya.

Komentar tersebut disampaikan oleh Prof Budi Tangendjaja selaku Peneliti Balitnak Ciawi pada acara seminar di Bogor beberapa waktu lalu. Ketika sedikit berdiskusi dengan Infovet Prof Budi berkomentar mengenai penyakit 90/40 atau yang dicurigai sebagai AI H9N2.

“Saya ketemu beberapa di peternak, mereka banyak menduga H9N2, Saya tanya ke mereka tahu darimana? Sudah melakukan uji apa? Kok bisa tahu? Mereka cuma bilang, memang lagi ngetop pak. Apa-apaan begitu?,” ucapnya dengan nada kesal. Menurutnya, peternak seharusnya jangan mudah termakan isu sebelum menemukan diagnosis yang tepat. Beberapa diantara peternak bahkan bertanya pada Prof Budi siapa yang menjual vaksin AI H9N2.

Ia mengaku hanya bisa geleng-geleng kepala saja melihat kelakuan peternak yang seperti itu. “Bukan gitu ya mas, peternak kita seperti sudah ketergantungan sama obat, sama vaksin. Seakan-akan kalau enggak ada itu hasilnya pasti jelek, padahal kan belum tentu,” katanya.

Ia memberi contoh negara tetangga Selandia Baru yang menurut salah satu majalah peternakan dunia dinobatkan sebagai negara terbaik di dunia dalam tatacara dan manajemen budidaya perunggasan. Prof Budi menyebutkan bahwa, selain iklim dan cuaca yang mendukung, ternyata peternak di Selandia Baru melek teknologi dan tidak abai terhadap biosekuriti.

“Waktu Saya ke sana, itu enggak bisa sembarangan masuk ke farm, padahal peternakan broiler komersil, tapi mau masuk saja udah kayak mau masuk ke breeding farm, isi formulir dulu, mandi dulu, dll. Saya agak kesal juga sih, tapi ya memang sudah jadi SOP-nya mereka, mau gimana lagi?,” tutur dia.

Ia melanjutkan, bahwa rerata Indeks Performans (IP) dari peternakan broiler di sana adalah 415. “Di Indonesia susah dapat IP segitu, apalagi kandangnya open house, jorok, Saya jamin hampir mustahil deh,” pungkasnya. Ia berharap agar peternak Indonesia mengadopsi hal-hal baik seperti ini. “Tidak usah yang susah-susah, ada desinfektan celup kaki, kandang khusus isolasi ayam sakit, sama desinfeksi peralatan dan kendaraan saja deh, kalau diterapkan yang sederhana gitu dan konsisten setidaknya bisa meminimalisir risiko wabah lah,” ucapnya.

Lebih lanjut, ia menghimbau peternak Indonesia agar selalu ingat biosekuriti karena hal tersebut yang sering luput dan diremehkan. “Basic Saya memang bukan di medis, tapi Saya mengerti kalau itu penting, kalau kata peternak di Selandia Baru sana it’s no bullshit (bukan omong kosong), begitu. Makanya Indonesia harus begitu juga dong,” pungkasnya menutup pembicaraan. (CR)

Sumber: www.majalahinfovet.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>