FOKUS: El Nino & Pelarangan AGP, Ujian Berat Bagi Peternakan Indonesia

El Nino & Pelarangan AGP

El Nino & Pelarangan AGP,

Ujian Berat Bagi Peternakan Indonesia

Tahun 2018 lalu menjadi salah satu ujian berat bagi sektor peternakan Indonesia. Selain karena cuaca yang tak menentu akibat El Nino, para peternak juga “diuji” ketahanannya dengan pakan tanpa AGP, bagaimana mereka menghadapinya?

“Untuk menjadi pelaut yang andal, harus mengetahui cuaca”. Kutipan tersebut juga berlaku di dunia peternakan. Karena untuk menjadi peternak yang andal, juga harus bisa bersahabat dengan alam. Selain faktor internal, kesuksesan dalam usaha peternakan juga didukung faktor eksternal, salah satunya iklim dan cuaca. Khususnya bagi peternak yang menerapkan sistem kandang terbuka, mereka benar-benar harus bisa bersahabat dengan alam agar performa ternaknya terjaga.

Fenomena El Nino
El Nino merupakan fenomena penurunan curah hujan di wilayah Indonesia terutama di selatan khatulistiwa. Penyebabnya adalah menghangatnya suhu muka laut di Samudra Pasifik area khatulistiwa, akibatnya musim kemarau lebih panjang daripada musim hujan. Fenomena ini juga melanda negara-negara lain di dunia. Lahan pertanian menjadi yang paling berisiko terdampak kekeringan akibat El Nino.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah memprediksi bahwa Indonesia bakal mengalami El Nino pada akhir September hingga awal Oktober 2018. Prediksi tersebut ternyata benar adanya, peternak merasakan bahkan sampai bisa dibilang “merindukan” datangnya hujan.
Dampak dari musim kemarau yang panjang bagi sektor peternakan tentunya tidak main-main, suhu tinggi pada siang hari dapat menyebabkan ternak stres, yang juga lebih penting adalah ketersediaan bahan baku pakan misalnya jagung.
Musim kemarau panjang tentunya menyebabkan suhu tinggi pada siang hari, terkadang suhu naik sangat ekstrem, sehingga menyebabkan cekaman pada ternak. Menurut Prof Agik Suprayogi, guru besar Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (FKH IPB), iklim memegang peranan besar bagi produktivitas ternak dan kadang peternak sering acuh terhadap hal ini.
“Selain manajemen peternakan, jangan sekali-kali melupakan hal ini (iklim) apalagi ketika musim-musim yang sulit ditebak seperti itu, salah-salah nanti peforma ternak kita turun,” tutur Prof Agik.
Salah satu contoh iklim dapat memengaruhi maksud Prof Agik, yakni terhadap spesies hewan, misalnya sapi perah. “Sapi perah kan cocoknya di iklim dengan suhu sejuk dan dingin misalnya pegunungan, gimana coba kalau dipindahkan ke tengah kota? Produksinya turun toh,” ucapnya.
Ia melanjutkan, bahwa cekaman akibat suhu yang terlalu tinggi maupun terlalu rendah, selain dapat menyebabkan stres dan penurunan performa ternak, juga merupakan pelanggaran terhadap animal welfare.
“Bebas dari rasa ketidaknyamanan juga masuk dalam five freedom of animal welfare, oleh karenanya kalau peternak santai-santai saja menghadapi iklim ekstrem dan ternaknya dirawat “biasa-biasa saja” ruginya dua kali, sudah performa turun, dosa pula,” pungkasnya sambil berkelakar.
Mengapa rasa tidak nyaman pada ternak dapat menurunkan performa?, menurut penelitian yang dilakukan oleh Kamel (2016) pada ayam broiler, cekaman suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan heat stress yang berakibat pada terhambatnya proses pembentukan sel-sel darah putih (leukosit), bahkan proses tersebut tidak selalu ditandai dengan gangguan pertumbuhan walaupun terkadang disertai oleh kematian mendadak. Intinya pertumbuhan bobot badan “oke-oke saja” tetapi sistem imunnya tidak berkembang.
Hal ini tentunya sangat berbahaya terutama di Indonesia, di mana rerata peternak baru akan curiga bahwa ayamnya sakit ketika ada gangguan pertumbuhan dan sering mengabaikan kematian mendadak pada ternaknya. Jika sewaktu-waktu terjadi outbreak penyakit tertentu pastilah dampaknya akan sangat besar dan inilah yang sering luput oleh peternak.
Yang kedua dari dampak El Nino adalah ketersediaan bahan baku pakan, misalnya jagung. Sebagai sumber energi utama dalam formulasi pakan, jagung memegang peranan yang sangat krusial. Sudah menjadi kontroversi mengenai “keberadaan” jagung di Negeri ini dalam beberapa tahun terakhir, selain karena keragu-raguan akan kevalidan data Kementerian Pertanian mengenai jagung, ternyata kemarau panjang akibat El Nino juga memengaruhi ketersediaan jagung.
Terlambatnya panen jagung akibat kemarau yang dipengaruhi oleh El Nino diungkapkan oleh Ketua Umum GPMT, Desianto Budi Utomo. “Perkiraan panen jagung bisa mundur sampai bulan Februari-Maret 2019 karena kemarau panjang ini, harusnya bisa lebih cepat,” ujarnya.
Akibat terlambatnya panen, jagung menjadi sulit didapat walaupun demand terus naik, hal ini berakibat pada kenaikan harga yang fantastis. “Sudah di level Rp 6.000/kg,” ucap Desianto.
Sebagai substitusi energi yang ada pada jagung, digunakanlah tepung terigu. Namun bak buah simalakama, tepung terigu butuh perlakukan khusus dalam formulasi pakan. Apabila tidak di-treatment khusus, ternak terutama ayam akan mengalami diare karena kesalahan dalam meracik formulasi pakan. Hal ini penting untuk diperhatikan, karena jika pakannya saja sudah tidak bagus, jangan harap performa ternak akan baik.
Yang lebih mengherankan lagi, fenomena kelangkaan jagung baik karena data maupun iklim yang terganggu selalu terulang. Ini menyebabkan kerugian disana-sini dan seperti tidak pernah terlihat adanya upaya memperbaiki diri dari pemerintah.

Pelarangan AGP, Sudah Efektifkah?
Sudah menjadi rahasia umum sejak diberlakukannya pelarangan AGP (Antibiotic Growth Promotor) oleh Kementerian Pertanian membuat performa ternak menurun. Namun begitu, penurunan yang terjadi dinilai tidak terlalu signifikan kata Direktur Kesehatan Hewan, Drh Fadjar Sumping Tjatur Rasa.
Menurut dia, dilarangnya AGP adalah momentum bagi peternakan Indonesia untuk berbenah. “Kalau kita tidak mulai memangnya mau kapan lagi? Adanya kebijakan ini juga tidak lepas dari studi dan penelitian di lapangan. Peternak hanya perlu membiasakan diri saja dengan keadaan ini,” kata Fadjar dalam sebuah acara di Bogor, Jawa Barat.
Pada kenyataannya, peternak di lapangan merasakan hal berbeda. Seperti yang diutarakan Acep Supriyatna, peternak broiler kemitraan asal Bogor. Menurutnya tanpa adanya AGP di dalam pakan, performa ternak masih “kembang-kempis”. Sudah enam periode ini Acep merasakan bahwa performa ayam kurang stabil.
“Saya sudah konsultasi sama inti (kemitraan), bahkan sampai kita cek kualitas DOC mendetail. Pakan juga sih aman, mikotoksin enggak ada, hanya saja orang pakan bilang memang dari sananya tidak boleh lagi pakai antibiotik. Jadi deh performanya begitu, angin-anginan,” ujar pria berusia 40 tahun tersebut.
Kerugian yang dirasakan oleh Acep yakni dari kemunduran waktu panen, biasanya pada usia 29-30 hari ayam sudah bisa mencapai bobot badan 1,8 kg, kini bobot ayam di kandangnya pada usia yang sama hanya sampai 1,6 kg. “Padahal saya manajemen sudah sesuai sama yang diinstruksikan oleh inti, tapi ternyata hasilnya memang seperti itu,” jelas dia.
Kerugian lain yang Acep derita yakni cost tambahan untuk memberi jamu pada ayam-ayamnya. “Saya suka beli kunyit, jahe, kencur, buat jamu gitu ke ayam-ayam saya, bukannya kita enggak percaya sama obat-obatan dan sapronak dari inti, untuk jaga-jaga saja supaya enggak banyak ternak mati,” ungkap pria asal Garut tersebut.
Memang ketika ditanya mengenai wabah penyakit yang merebak di kandangnya, Acep menuturkan tidak ada temuan yang menyatakan bahwa kandangnya terserang suatu wabah penyakit. “Alhamdulillah tidak, kalau bisa mah biar sehat terus saja, minta doanya ya,” katanya dengan nada bercanda.
Ia juga mengakui, bahwa sepertinya ada sedikit sisi baik dari diberlakukannya pelarangan AGP. Walaupun performa di kandang bisa dibilang kurang maksimal dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, harga live bird dalam beberapa periode ini cenderung stabil.
“Mungkin karena rata ya, semua peternak merasakan hal yang sama, jadi kita semua kena imbasnya. Saya harap peternak kompak kalau mau jual ayamnya, jangan banting harganya, juga inti yang kemitraan ini ayam kita dihargai dengan harga yang layak lah,” pungkas Acep.
Layaknya Acep, salah satu peternak layer self mixing asal Sukabumi, Budi Iriawan, juga merasakan hal serupa. Menurutnya sejak diberlakukan pelarangan AGP, ia harus memutar otak agar ayam-ayam di kandangnya mencapai performa terbaik.
Berbagai cara dilakukannya demi mencari pengganti AGP agar performa ayamnya tetap terjaga. “Saya sampai lakukan banyak trial, berganti-ganti produk juga sudah, pokoknya apa saja dicoba supaya performa tetap oke,” ungkap Budi.
Namun satu hal yang ia sayangkan dari peraturan tersebut adalah hingga saat ini Budi masih belum dapat menemukan alternatif antikoksidia. “Rata-rata antikoksidia itu kan sediaan antibiotik, sulit cari pengganti yang oke. Banyak yang nawarin, tapi pas kita trial hasilnya memang masih lebih baik yang lama (AGP), tapi sekarang enggak bisa sembarangan dipakainya,” kata Budi yang juga alumni FKH IPB.
Masih mengenai antikoksidia, menurut Budi, antikoksidia sangatlah penting bagi peternak layer, hal tersebut karena pemeliharaan ternak layer lebih panjang waktunya ketimbang broiler.
“Coba kalau dipikir lagi, layer bisa sampai umur 80-an minggu, selama waktu pemeliharaan kalau enggak kita kasih antikoksi gimana? Lalu kalau dalam tenggat waktu sepanjang itu ayam kita tiba-tiba kena koksi gimana? Bisa riweuh dong,” imbuhnya.
Sembari melontarkan unek-uneknya kepada tim Infovet, ia menghimbau kepada pemangku kepentingan agar mengkaji kembali pelarangan AGP terutama pada sediaan-sediaan yang sifatnya antikoksidia.
“Saya sih oke, saya dokter hewan background­-nya, jadi masih bisa tulis resep, dan apa yang saya lakukan di farm saya, semua atas sepengetahuan saya, gimana kalau peternak yang tidak mengerti dan tidak punya pengetahuan medis? Nah, maka dari itu saya minta peran lebih dari pemerintah agar peternak lebih diperhatikan, ini masalah yang cukup berat bagi peternak,” pungkas Budi.
Walaupun penuh dengan kontroversi, pro-kontra, serta intrik-intrik di lapangan terkait pelarangan AGP memang merupakan suatu keniscayaan. Nyatanya memang penggunaan antibiotik yang serampangan dapat menimbulkan resistensi antibiotik pada bakteri, lebih mengerikan lagi apabila bakteri tidak lagi dapat dikendalikan dengan antibiotika. Kendati demikian, stakeholder di bidang peternakan, kedokteran hewan dan kedokteran, juga turut ikut serta dalam mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah. Semuanya harus dikawal, diawasi dan dievaluasi agar kebijakan yang dibuat tidak menjadi bumerang. (CR)

 Sumber: www.majalahinfovet.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>