Fokus: Closed House, Rumah Idaman Ayam Zaman Now

Closed House: Rumah Idaman Ayam Zaman Now

Closed House, Rumah Idaman Ayam Zaman Now

((Seiring berjalannya waktu, konsumsi daging dan telur ayam per kapita masyarakat Indonesia semakin meningkat. Berbagai hal pula dilakukan oleh stakeholder di dunia perunggasan Indonesia untuk terus memacu dan mengefisienkan produksinya, salah satunya dengan membangun kandang closed house berkapasitas besar.)) 

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, konsumsi daging ayam ras pada 2016 lebih tinggi daripada 2015, dari 4,797 kg per kapita per tahun menjadi 5,110 kg per kapita per tahun. Hal yang sama terjadi pada konsumsi telur ayam ras di mana pada 2015 konsumsinya 97,398 butir per kapita per tahun menjadi 99,796 butir per kapita per tahun.

Kenaikan konsumsi masyarakat tentunya harus pula dibarengi oleh peningkatan produksi, bila keadaan tidak berimbang maka akan terjadi kelangkaan. Disaat yang bersamaan, keterbatasan lahan juga menjadi kendala dalam tumbuhnya bisnis perunggasan di Indonesia. Oleh karenanya upaya yang dilakukan integrator maupun peternak dalam meningkatkan kapasitas produksi dan meningkatkan efisiensi mereka yakni dengan melakukan instalasi closed house. Namun sistem ini juga punya kekurangan dan kelebihan.

Efisien, Nyaman, Berperike-hewanan

Nyatanya perkembangan teknologi dibidang pemuliaan unggas sangat berimbas pada performa unggas. Misalnya saja sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu ayam broiler baru bias dipanen pada usia 40-45 hari dengan bobot satu kilogram lebih sedikit, namun kini peternak sudah bisa memanen broiler zaman now (zaman sekarang) pada usia 35-an hari dengan bobot 2 kg bahkan ada yang lebih.

Peningkatan performa seperti ini tentunya memiliki kompensasi yang harus dibayar, salah satunya pada aspek kesehatan ternak. Hal tersebut disampaikan oleh Tony Unandar, konsultan kesehatan unggas yang juga anggota Dewan Pakar ASOHI (Asosiasi Obat Hewan Indonesia). Kepada Infovet Tony mengungkapkan, bahwa ayam di zaman sekarang sangat rentan terhadap penyakit.

“Karena gen pertumbuhannya dipercepat, gen-gen lainnya kan pasti di-suppress, sehingga ayam jadi mudah stress (tertekan) terutama oleh keadaan lingkungan. Nah, ketika ayam berada dalam keadaan stress oleh cekaman lingkungan, system imunnya otomatis menurun karena hormone glukokortikoid banyak disekresikan, sehingga mempengaruhi kinerja timus dan menghambat produksi sitokin dan interleukin yang merangsang dan mengkoordinasikan aktivitas sel darah putih,” tutur Tony.

Ia menambahkan, hal tersebut juga dapat diperparah oleh kondisi nutrisi yang kurang bergizi dan keadaan di kandang yang kurang baik. Bila tingkat amonia di kandang tinggi dan selaput mukosa teriritasi olehnya, maka infeksi bakteri yang seharusnya bersifat komensal dapat dimungkinkan, apalagi yang patogen, di sinilah penyakit pernafasan bermula. Melalui penjabaran tadi, Tony menegaskan, bahwa karakteristik ayam zaman now sebenarnya tidak cocok dengan system pemeliharaan zaman old (zaman dulu) yang masih banyak diterapkan peternak Indonesia.

“Ayam zaman now, idealnya akan nyaman apabila perbedaan antara suhu tertinggi (siang hari) dikurangi suhu terendah (malam hari), jumlahnya lebih dari atau sama dengan 8oC. Sarat tersebut mutlak harus terpenuhi agar ayam nyaman,” kata Tony.

Ia menegaskan, cara yang paling mungkin dalam mengakalinya yakni dengan menciptakan lingkungan yang terkontrol, alias closed house. Ia menolak jika dikatakan pro integrator dan pemodal besar, ia hanya mencoba bersikap ideal dan memposisikan diri sebagai ayam. “Memang Anda mau ditempatkan di tempat yang sempit, sumpek, susah buat nafas dan selonjor? Enggak kan. Makanya pun kandangnya tradisional tetap harus diperhatikan dong!,” pungkasnya.

Penggunaan closed house juga efektif dalam mengefisienkan produksi. Seperti yang dialami oleh Fredrick Sebastian di Sukabumi. Generasi kedua dari Atik Jaya Raya Farm tersebut mengakui, bahwa sistem closed house memberinya efisiensi lebih dalam beternak. “Dulu sekali waktu yang pelihara ayam masih orang tua, kita lihat lagi catatannya, ternyata Indeks Prestasinya (IP) kurang bagus mentok-mentok hanya diangka 300-350an aja, semakin kemari tantangan makin keras nih, seperti cuaca, penyakit, semuanya deh. Akhirnya Saya sama dua orang saudara mikir nih, gimana caranya ya biar lebih efisien? Akhirnya kita putusin pasang closed house,” ungkap Fredrick.

Keputusan yang diambil olehnya dan kedua saudaranya pun berbuah manis, usaha yang dirintis oleh orang tuanya kini lebih maju berkat kandang closed house. Fredrick berujar, bahwa pernah pada satu periode, angka IP di salah satu kandangnya mencapai angka 491 dengan nilai FCR 1,38 dan rataan bobot ayam 2,1 kg, pencapaian yang fantastis tentunya. Selain itu, Fredrick juga merasa bahwa sistem closed house ini menjadikan ayam jarang terkena penyakit, sehingga menghemat biaya pengobatan. Perawatan kandangnya pun tergolong mudah dan sederhana, serta tidak banyak membutuhkan operator kandang untuk memelihara populasi ayam yang lebih banyak.

Butuh Modal Lebih

Penerapan teknologi dalam aspek pemeliharaan tentunya juga membutuhkan biaya lebih. Pasalnya, biaya yang dibutuhkan untuk mendirikan kandang closed house membuat peternak jadi enggan membangunnya. Bukan rahasia umum kalau daging dan telur ayam harganya sangat fluktuatif, sehingga membuat peternak jiper duluan dalam membangun kandang closed house, karena mampu membayar hanya saat harga bagus, dan akhirnya tidak mampu membayar dan pailit ketika harga anjlok.

Walaupun begitu, salah satu peternak di Purworejo, Hartadi, tetap nekat membangun closed house. Hartadi yang sudah kenyang makan asam-garam di dunia perunggasan selama lebih dari 15 tahun menjadi mitra salah satu integrator punya inisiatif lebih. “Orang tua sampai bilang Saya gila mas, karena Saya gadaikan sertifikat rumah buat bangun rumah ayam, wong edan!,” ucap Hartadi.

Ia mengaku, bahwa biaya yang ia keluarkan untuk membangun closed house kurang lebih mencapai Rp 500 juta rupiah. “Harga untuk bikin kandang jatuhnya per ekornya sekitar 50 ribu rupiah mas, karena Saya buat untuk sepuluh ribu ekor ya jadi sekitar 500 juta rupiah, itu sudah terima beres,” jelasnya.

Hartadi mendapatkan dana dari salah satu bank perkreditan rakyat, di mana menurut kalkulasinya ia masih harus mencicil pembiayaan closed house-nya sampai empat tahun lagi. Kelihatannya berat memang perjuangan Hartadi, namun menurutnya sejak menggunakan closed house Hartadi lebih efisien dalam penggunaan pakan (15%) dan mengurangi biaya pengobatan (Rp 35/ekor). Selain itu karena performa yang bagus, ketika harga ayam anjlok, Hartadi tidak merasakan imbasnya karena harga pokok produksinya turun.

Ia memberi sedikit “wejangan” kepada peternak lainnya agar tidak usah ragu beralih dengan sistem closed house. “Memang mahal, Saya enggak bohong tapi sepadan, terus kalau bisa cari penyedia peralatan closed house yang bagus, terpercaya, berpengalaman dan servisnya bagus, harga juga pasti bersaing dan beda-beda tipis juga lah,” kata dia.

Hartadi juga berharap agar pemerintah lebih memperhatikan nasib para peternak, khususnya di sector budidaya. Menurutnya apabila harga ayam dan telur stabil, pasti peternak akan lebih semangat dalam beternak. Selain itu, kalau bias Hartadi berharap ada program kredit khusus untuk peternak yang ingin melebarkan sayap usahanya baik di hulu maupun hilir. (CR)

Sumber: www.majalahinfovet.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>