Fokus: Benarkah Koksidiosis Masih Mengancam Peternak Ayam Ras Komersial

Ayam Ras_5

Benarkah Koksidiosis Masih Mengancam

Peternak Ayam Ras Komersial

 

“Menjaga infestasi parasit Coccidia sp., di puncak teratas dalam manajemen kesehatan unggas merupakan satu hal penting agar dapat terhindar dari Koksidiosis,” demikian disampaikan Jake Davies yang dikutip dari laman www.poultryworld.net. Pernyataan Jake Davies membuka mata pembudidaya unggas komersial dunia akan pentingnya menjaga kebersihan kandang, baik di dalam maupun di luar kandang.

Kebersihan kandang dan peralatannya menjadi topik hangat dari beragam diskusi semi-ilmiah sampai ilmiah, sehingga tidak sedikit para pemerhati bidang produksi ternak unggas melakukan kajian terkait dengan korelasi kebersihan kandang dengan kejadian berbagai penyakit.

Sebuah laporan hasil penelitian menyebutkan bahwa kandang dengan tingkat kebersihan minimal, ternaknya lebih mudah dijangkiti oleh beragam bibit penyakit jika dibandingkan dengan kondisi kandang dengan tingkat kebersihan maksimal. Hal inilah yang mengantarkan statement Prof Drh Ekowati Handharyani PhD APVet, bahwa semua bibit penyakit merupakan ancaman bagi pembibit, pembudidaya ataupun pemelihara unggas komersial, seperti ayam ras pedaging dan petelur.

“Ancaman penyakit itu tidak hanya dari Coccidia sp., saja, namun dari beragam virus dan bakteri dapat menjadi ancaman bagi peternak,” kata Prof Ekowati mengawali diskusinya dengan awak Infovet.

Menurut dia, sebagai negara yang beriklim tropis, Indonesia disebut sebagai surganya bagi mikroorganisme, baik yang patogen maupun non-patogen. Hal ini berarti bahwa kondisi lingkungan usaha peternakan komersial dapat dikatakan tidak aman karena bibit penyakit dapat mengancam kapan saja.

Pembicaraan terkait dengan penyakit di dunia perunggasan tidak pernah habis. Hal ini disebabkan karena sektor perunggasan merupakan sektor inti yang mendukung penyediaan bahan pangan hasil ternak, bernutrisi tinggi dan disukai hasil olahannya oleh semua kalangan konsumen.

Sebagai ternak yang disebut memiliki potensi gen pertumbuhan terbaik, ayam ras komersial harus dipelihara pada kondisi lingkungan luar dan dalam kandang yang sesuai, pakan yang cukup dan bernutrisi tinggi, serta minimum paparan mikroorganisme patogen. Ada banyak mikroorganisme patogen yang dapat menyerang unggas dalam tatanan budidaya, baik komersial maupun non-komersial, seperti bakteri, fungi, virus maupun dari jenis parasit. Salah satu parasit yang sering menggerogoti usaha peternakan ayam ras komersial adalah protozoa Coccidia sp., sebagai penyebab penyakit koksidiosis pada unggas.

 

Koksidiosis dan Heat Stress

Menurut Michels et al. (2011), koksidiosis merupakan penyakit umum terpenting pada unggas yang menyerang intestinal yang disebabkan oleh parasit protozoa dari genus Eimeria. Penyakit yang terkenal dengan istilah berak (feses) darah ini merupakan penyakit parasiter yang dapat mengganggu saluran pencernaan bagian aboral. Kerusakan bagian ini biasanya dapat terlihat dari gejala yang muncul, yakni diare yang diikuti oleh dehidrasi, yang dapat berakhir dengan kematian. Menurut Retno et al. (1998) dan Tabbu (2002), angka kesakitan ayam yang terpapar protozoa genus Eimeria dapat mencapai 100% dari populasi, sedangkan angka kematian dapat berkisar 80-90% dari total populasi di kandang. Tingginya angka kematian ini menyebabkan trauma atau ketakutan bagi peternak terhadap koksidiosis dimaksud.

“Koksidiosis itu sebenarnya adalah penyakit umum pada unggas termasuk ayam ras komersial yang dapat dijumpai di negara beriklim tropis, memiliki dua musim, panas dan musim hujan, dengan kelembaban yang ekstrim, menjadi tempat yang disukai oleh banyak bibit penyakit untuk tumbuh dan berkembangbiak dengan cepat,” tambah Prof Ekowati.

Prof Ekowati yang juga Alumni Program Doktoral Graduate School of Veterinary Medicine Hokkaido University Jepang ini, juga menyebut protozoa genus Eimeria menyukai daerah-daerah dengan temperatur tinggi, namun kelembabannya rendah. Munculnya kasus koksidiosis biasanya dipicu oleh kondisi ayam yang dipelihara, di samping kondisi lingkungan kandang yang juga dapat mendukung berjangkitnya penyakit.

Merujuk pada buku yang ditulis oleh Nuhad J. Daghir berjudul “Poultry Production in Hot Climates edisi kedua yang terbit pada 2008, dijelaskan bahwa stress menjadi faktor predisposisi penyakit tertinggi pada unggas khususnya di daerah-daerah beriklim panas. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Tabbu (2000), bahwa stress terutama heat stress berdampak jelek pada ayam ras komersial. Dampak tersebut dapat berupa turunnya intake pakan, sehingga produksi optimal tidak dapat dicapai. Di samping itu, stress diduga juga dapat menurunkan sistem imun, sehingga ayam dapat dengan mudah terpapar oleh bibit penyakit.

Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Mashaly MM et al. (2004) yang dimuat di Poultry Science 83: 889-894, menyebutkan bahwa ayam ras petelur pada kelompok yang di-treatment dengan heat stress menunjukkan terjadinya penurunan jumlah sel darah putih dan produksi antibodi secara signifikan. Hasil penelitian ini juga mengungkapkan bahwa pada kondisi heat stress, angka kematian jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan kondisi­ un-heat stress, hal yang sama untuk produktivitas berupa produksi telur dan mutu dari telur yang diproduksi, lebih jelek dari ayam ras petelur pada kondisi­ un-heat stress. Hal ini berarti bahwa heat stress tidak hanya dapat memengaruhi kinerja produksi, namun juga dapat menghambat fungsi kekebalan tubuh ayam ras petelur, sehingga ayam ras petelur dan/atau unggas lainnya mudah dipapari oleh bibit penyakit.

Terkait dengan kondisi tersebut, peternak sejatinya harus paham dan cepat tanggap, bagaimana menurunkan atau menghambat terjadinya stress pada ayam komersial yang dipeliharanya. “Jika stress dapat membuka jalan bibit penyakit masuk ke dalam tubuh ternak, maka peternak seharusnya dapat menjaga ternak yang dipeliharanya untuk tidak stress,” kata Prof Ekowati.

 

Penanganan Koksidiosis

Dalam banyak media, perihal koksidiosis pada unggas disampaikan dengan sangat mudah dimengerti peternak. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk membantu peternak mencegah paparan protozoa penyebab koksidiosis, sehingga ayam yang dipelihara tetap sehat sampai umur panen.

Pencegahan koksidiosis pada dasarnya dapat dilakukan dengan banyak cara, namun cara bijak yang dapat dilakukan peternak adalah menggiatkan anak kandang untuk menjaga kebersihan. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Dr APVet Drh Rondius Solfaine MP, “Mencegah penyakit secara umum itu sangat mudah dilakukan, hanya dengan meningkatkan kebersihan kandang, memperbanyak ventilasi kandang agar sirkulasi udara lancar, lalu lakukan pemberian vitamin, namun yang sangat penting dilakukan adalah menjaga kualitas pakan jangan sampai rusak, baik lembab atau busuk dan berjamur, hal ini dapat menjadi pintu masuk kontaminasi peroral kuman patogen,” kata dia.

Senada dengan Drh Rondius, Prof Ekowati juga menyatakan bahwa koksidiosis berkorelasi positif dengan kondisi lingkungan kandang. “Pada dasarnya, semua penyakit dapat dikatakan sebagai ancaman, artinya tidak terspesialisasi ke koksidiosis saja, penyakit lain juga bisa disebut sebagai ancaman,” jelas Prof Ekowati, yang juga ahli Comparative Pathology FKH Institut Pertanian Bogor.

Menurutnya, salah satu cara yang dapat dilakukan peternak adalah membiasakan lingkungan kandang dalam kondisi kering. Hal ini bertujuan untuk meminimalkan lingkungan yang pas bagi mikroba patogen untuk tumbuh dan berkembangbiak di sekitar lokasi kandang. Anggota Asosiasi Patologi Veteriner Indonesia ini menyarankan untuk mengubah model pemeliharaan, yakni dari yang menggunakan kandang terbuka ke kandang tertutup. “Kandang tertutup sepertinya lebih aman jika dibandingkan dengan kandang terbuka,” jelasnya.

Pendapat serupa juga disampaikan Muhamad Chairul Umam SPt, Technical Service PT Semesta Mitra Sejahtera Riau, “Penyakit biasanya muncul karena faktor kelalaian peternaknya, terutama dalam hal meningkatkan aktivitas bersih-bersih di kandang, sehingga pada saat kondisi ini terbiarkan maka dipastikan bibit penyakit dapat dengan mudah masuk dan menjangkiti ternak, yakni ternak yang pada saat tersebut dalam kondisi minimal sistem pertahanan tubuhnya,” kata dia ketika dihubungi Infovet.

Lebih lanjut, tindakan terbaik itu adalah mencegah supaya ternak tidak sakit. Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan sangat simpel, yakni cukup dengan menjalankan prosedur tetap yang disampaikan secara tertulis oleh perusahaan inti jika pola pemeliharaan secara kemitraan, dan hal yang sama untuk pola pemeliharaan secara individu. “Jika tindakan pencegahan telah dilakukan, manajemen pemeliharaan yang baik pun telah diterapkan, lalu ada kasus, peternak dapat dengan mudah mengetahui, disebabkan oleh apa dan solusinya apa untuk kasus dimaksud,” ucap Chairul yang juga alumni Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN Suska Riau.

Pencegahan koksidiosis pada unggas dengan menggunakan antimikroba seperti koksidiostat dapat dilakukan. Biasanya, penggunaan koksidiostat diaplikasikan melalui pakan. Namun, penggunaan koksidiostat berdampak negatif terhadap kesehatan konsumen. Dampak negatif tersebut didapat dari kajian-kajian yang telah dilakukan, bahwa terjadi resistensi obat yang cukup tinggi, sehingga penggunaannya pun dianggap tidak efisien, baik secara ekonomi maupun dilihat dari sisi lingkungan. Dampak dari kondisi ini adalah terjadinya peningkatan kesadaran masyarakat sebagai konsumen produk unggas komersial berupa daging dan telur, yakni konsumen lebih memilih produk ternak yang bebas antibiotik.

 

Cegah Koksidiosis dengan Herbal

Sejak ditetapkan aturan baru menyangkut pelarangan penggunaan antibiotika di dunia peternakan, yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 14/Permentan/PK.350/5/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan, khususnya penggunaan yang terkait dengan antibiotika pemacu pertumbuhan, banyak keluhan yang disampaikan peternak unggas komersial.

Seperti dikatakan Syamsul Bahri SPt, Technical Service (TS) PT Bumi Unggas Mandiri Pekanbaru, bahwa pelarangan penggunaan antibiotika pemacu pertumbuhan menghasilkan dampak buruk terhadap produktivitas ayam ras pedaging dan petelur. Dampak buruk tersebut tingginya feed intake, namun tidak dibarengi dengan pencapaian bobot badan akhir saat panen, sehingga FCR memburuk dan hasilnya peternak merugi. Dikatakan Syamsul bahwa saat ini perhatian peternak bukan kepada kasus koksidiosis yang disebut masih mengancam kenyamanan ternak, namun lebih kepada arah pembatasan dan atau pelarangan total penggunaan antibiotik untuk ternak terutama untuk ayam ras komersial. “Sejak adanya pelarangan, dampaknya sangat jelas dan dapat dilihat dari FCR, yang sebagai gambaran dari produk akhir yang didapat peternak,” kata Syamsul.

Kendati demikian, ia tetap mendukung kebijakan pemerintah terkait dengan larangan dimaksud. “Pemerintah melarang menggunakan antibiotik pemacu pertumbuhan pada ternak jelas dengan alasan yang juga sangat jelas, namun perlu adanya solusi yang tepat yang dapat diterapkan peternak, tentu dengan hasil yang sama atau bahkan melebihi hasilnya dari aplikasi antibiotik pemacu pertumbuhan tersebut, seperti penggunaan herbal,” ucapnya.

Mengacu pada pernyataan Syamsul, terkait penggunaan herbal untuk ayam ras komersial, Michels et al. (2011) telah mengkaji dan melaporkan hasil kajiannya tentang penggunaan produk pengganti anti-koksidiosis yang dapat mencegah dan mengobati penyakit. Penggunaan produk dimaksud menurut Michels et al. (2011) tidak memengaruhi efisiensi produksi dan aman bagi kesehatan konsumen. Produk pengganti antibiotika pemacu pertumbuhan yang disarankan Michels et al. (2011) adalah produk herbal yang memiliki efek fitofarmasi. Fitofarmasi itu sendiri diartikan sebagai senyawa yang terdapat pada tanaman yang tidak dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh tetapi mempunyai pengaruh terhadap kesehatan atau peran aktifnya melawan penyakit.

Terkait dengan penggunaan fitofarmasi untuk meningkatkan kesehatan ternak, kembali Prof Ekowati menyampaikan, fitofarmasi untuk ternak terutama untuk unggas komersial, sudah menjadi satu keharusan, karena pada dasarnya yang dibutuhkan konsumen adalah rasa aman dan terlindungi dari bahaya terkait dengan produk yang dikonsumsinya. “Produk unggas berupa daging dan telur itu, amannya jelas yang ayamnya dipelihara tanpa menggunakan antibiotika pemacu pertumbuhan,” kata Prof Ekowati. Di samping aman, produk fitofarmasi memiliki keunggulan lainnya, seperti murah harganya.

Hasil-hasil penelitian para peneliti terkait dengan kemampuan fitofarmasi dilaporkan oleh Molan et al. (2009), yakni penggunaan ekstrak kulit kayu pinus. Menurutnya, ekstrak kulit kayu pinus yang mengandung sekitar 35% tanin dapat digunakan untuk mengurangi sporulasi ookista Eimeria tenella secara signifikan. Sementara itu, Arab et al. (2006) dan Allen (2007) menyatakan bahwa beberapa senyawa seperti artemisinin dari Artemisia sieberi sangat efisien digunakan untuk mengurangi ekskresi ookista, hal yang sama dengan khasiat xanthohumol yang juga dapat digunakan untuk mengurangi dan bahkan menghambat ekskresi ookista di dalam tubuh ayam ras komersial.

Dibanyak tulisan atau media lainnya disebutkan bahwa koksidiosis pada unggas selalu diidentikkan dengan kejadian feses berdarah. Menurut Drh Rondius Solfaine, yang juga pakar Patologi Veteriner FKH Universitas Wijaya Kususma, Surabaya, kejadian feses berdarah pada ayam yang terinfestasi Coccidia sp., disebabkan karena adanya kelukaan pada bagian usus halus yang diukur dari skor lesi. Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Arab et al. (2006) menyebutkan bahwa knalkon terprenilasi dari bunga Humulus lupulus sangat efektif digunakan untuk mengurangi derajat perlukaan usus halus yang disebabkan oleh Eimeria tenella. Hal ini berarti bahwa penggunaan senyawa yang diproduksi oleh bunga Humulus lupulus dapat direkomendasikan sebagai pengganti koksidiostat untuk mencegah kejadian koksidioasis pada ayam ras komersial. Di samping itu, ekstrak urang aring (Eclipta alba) yang mengandung kumarin, dilaporkan oleh Michels et al. (2011) bahwa pada konsentrasi kumarin 120 ppm berefek positif sebagai agen profilaksis Coccidia sp.

Herbal kenikir yang dikenal baik di kalangan masyarakat Indonesia, juga dapat digunakan bahan aktifnya untuk kesehatan ternak. Hal ini telah dikaji oleh Rasdi et al. (2010) dan hasilnya menyebutkan bahwa kenikir memiliki aktifitas antimikroba baik pada bakteri Gram positif (Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus), bakteri Gram negatif (Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa), dan fungi (Candidia albicans).

Menyoal anjuran untuk tidak menggunakan antibiotika pemacu pertumbuhan untuk ayam ras komersial dan ternak lainnya, alternatif penggunaan herbal yang bersifat fitofarmasi sangat memungkinkan. Hal ini ditegaskan oleh Prof Ekowati, bahwa herbal sangat memungkinkan dipakai untuk menggantikan peran antibiotika pemacu pertumbuhan pada ayam ras komersial. Namun, kajian terutama terkait dengan kemampuan dari herbal tersebut dalam hal mencegah dan atau mengobati penyakit, perlu ditingkatkan sehingga pada saatnya nanti bisa didapatkan formula yang tepat, dosis yang sesuai, efek sinergisme antar herbal dan hal-hal lainnya yang ada kaitannya dengan efek herbal terhadap kesehatan ternaknya.

 

Saponin untuk Koksidiosis

Saponin adalah senyawa metabolit sekunder dalam bentuk glikosida yang dapat dijumpai pada tumbuhan tingkat tinggi. Sejatinya, senyawa ini berperan sebagai pelindung tanaman yang disebut  phytoanticipins atau phytoprotectans. Saponin membentuk larutan koloidal dalam air dan membentuk busa yang optimal jika dikocok (sapo yang berarti sabun) dan tidak hilang dengan penambahan asam (Harbrone 1996). Saponin sendiri termasuk golongan senyawa alami yang rumit, yang memiliki massa dan molekul besar, dengan kegunaan yang luas (Burger et al. 1998).

Beberapa saponin bekerja sebagai antimikroba, antifungal dan mampu melindungi tanaman dari serangan banyak serangga. Saat ini, beragam jenis saponin dikenal luas oleh kalangan peneliti, seperti glikosida triterpenoid dan glikosida struktur steroid tertentu yang mempunyai rantai spirotekal. Kedua saponin ini larut dalam air dan etanol, tetapi tidak larut dalam eter. Aglikonya disebut sapogenin yang diperoleh melalui hidrolisis dalam suasana asam atau hidrolisis memakai enzim (Robinson 1995).

Pada ternak ruminansia, pemberian bahan pakan yang mengandung saponin dapat meningkatkan pertumbuhan, efisiensi pakan dan kesehatan ternak. Efek positif ini disebabkan karena saponin dapat meningkatkan sintesis protein mikroba rumen dan dapat menurunkan degradabilitas protein dalam rumen. Penurunan degradasi protein dalam rumen dapat terjadi karena terbentuknya kompleks protein-saponin yang sedikit tercerna dan terkait dengan kemampuan saponin sebagai agen defaunasi yang menyebabkan penurunan total populasi protozoa rumen. Penurunan populasi protozoa dapat meningkatkan aliran N bakteri rumen ke duodenum, karena pemangsaan protozoa terhadap bakteri menurun tajam.

Hasil penelitian terbaru yang dilaporkan Pristian Yuliana (2018) menyebutkan bahwa penggunaan Gliricidia sepium, Sapindus rarak dan Hibiscus sp., secara tunggal maupun kombinasi dengan rumput gajah dapat menurunkan populasi protozoa dalam rumen. Saponin dapat mengganggu perkembangan protozoa dengan terjadinya ikatan antara saponin dengan sterol pada permukaan membran sel protozoa, menyebabkan membrane pecah, sel lisis dan mati. “Untuk ruminansia, peran saponin sangat jelas, yakni lebih ke arah penurunan emisi metana melalui eliminasi populasi protozoa, di samping nanti dikaitkan juga dengan tingkat kesehatan ternaknya dengan penyakit terkait yang disebabkan oleh protozoa, salah satunya adalah koksidiosis,” kata kandidat doktor dari Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan Institut Pertanian Bogor ini.

Berbeda halnya dengan ruminansia, pemanfaatan saponin untuk non ruminansia seperti unggas masih diperdebatkan. Hal ini terkait dengan peran saponin sebagai antinutrisi yang berefek negatif pada pertumbuhan. Efek negatif ini muncul karena aktivitas saponin diduga dapat menghambat produksi enzim pencernaan, sehingga keberadaan saponin dalam bahan pakan dapat menurunkan konsumsi pakan, pertambahan dan bobot badan akhir pada ayam ras pedaging dan menurunkan produksi telur pada ayam ras petelur.

Dari buku dengan judul Enzymes in Farm Animal Nutrition yang ditulis MR Bedford dan GG Partridge (2001) menyebutkan bahwa saponin merupakan antinutrisi yang dikandung oleh beberapa bahan pakan, sehingga penggunaannya dalam formulasi bahan pakan pun harus dibatasi. Adapun dasar pembatasan tersebut mengacu pada pernyataan Huisman dan Tolman (1992), yang mendasarkannya pada efek antinutrisi dan respon biologi pada ternak yang mengonsumsi pakan dengan kandungan antinutrisi, salah satunya adalah saponin yang jelas men-depressive effect on protein digestion dan pemanfaatannya, sehingga saponin disebut antinutrisi yang dapat menghambat pertumbuhan karena kejadian anoreksia akut pada ayam ras komersial dan jenis unggas lainnya.

Namun jika memedomani pernyataan yang sering disampaikan oleh Prof Dr Ir Erika Budiarti Laconi MS, bahwa tidak ada sesuatu yang tidak dapat dimanfaatkan terkait dengan apa saja yang diciptakan-Nya, semuanya pasti seperti adanya siang dan malam, lalu adanya sehat dan sakit dan hal lainnya yang perlu dikaji lebih jauh lagi, sehingga semua hal di alam ini yang dulunya dianggap tidak dapat dimanfaatkan, kelak aka ada laporan dari generasi berikutnya bahwa yang tidak dapat dimanfaatkan ternyata dapat dimanfaatkan. “Perlu kajian, kita yang mengkajinya dengan seksama dan teliti serta jujur, semuanya pasti ada manfaat, tidak tertutup kemungkinannya bahwa saponin juga dapat diaplikasikan untuk menekan atau bahkan dapat menghambat pertumbuhan protozoa sebagai penyebab koksidisosis pada unggas,” kata Wakil Rektor IV Institut Pertanian Bogor ini. (Sadarman)

Sumber: www.majalahinfovet.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>