Info Iptek : Vaksin AI Homolog Konvensional Versus Reverse Genetic

gita-pustaka

((Hadirnya vaksin rekombinan dari hasil teknologi reverse genetic yang diluncurkan oleh PT IPB Shigeta Animal Pharmaceuticals mungkin bisa menjadi jawaban polemik penggunaan berbagai jenis vaksin untuk penanggulangan wabah Avian Influenza (AI) di Indonesia.))

Pasalnya rekomendasi OIE (Office Internationale des Epizooties) atau Organisasi Kesehatan Hewan Dunia yang tertuang dalam Manual of Diagnostic Tests and Vaccines for Terrestrial Animals, Chapter 2.7.12 mensyaratkan bahwa (1) vaksin AI yang direkomendasikan penggunaanya adalah vaksin AI inaktif sedangkan vaksin AI aktif konvensional tidak direkomendasikan. (2) Vaksin AI inaktif konvensional hanya boleh diproduksi dengan menggunakan seed virus low pathogenic. (3) Vaksin bersifat imunogenik yang dilihat dari respon pembentukan antibodi yang tinggi dan (4) Kemampuan pertumbuhan seed virus-nya yang tinggi pada media kultur.
Sedangkan kondisinya di Indonesia semua vaksin AI inaktif konvensional homolog yang beredar di Indonesia berasal dari seed virus HPAI yang tentu tidak sesuai dengan rekomendasi OIE tersebut. Namun banyak pakar baik di dalam maupun di luar negeri justru menyarankan menggunakan vaksin yang homolog dengan virus lapangan. Alasannya karena vaksin tersebut sama dengan virus lapang sehingga kekebalan yang ditimbulkan akan jauh lebih baik.
Infovet sendiri pernah menurunkan laporan mengenai perbandingan berbagai jenis vaksin yang digunakan dalam upaya vaksinasi di Indonesia di edisi 138 Januari 2006. Berikut ini akan dibahas lebih mendalam mengenai perbandingan vaksin reverse genetic dengan vaksin konvensional lainnya.

Bermacam Metode Pembuatan Vaksin

Beberapa waktu yang lalu Drh CA Nidom, peneliti biologi molekuler dari Universitas Airlangga yang ditemui Infovet pernah menjelaskan tentang bermacam teknologi yang digunakan dalam pembuatan vaksin. Diantaranya adalah Vaksin Konvensional Heterolog yaitu kalau virus lapangan itu adalah H5N1 maka yang dinamakan heterolognya adalah H5N? atau sebagai contoh yang beredar di Indonesia H5N2 dan H5N9. Jadi selama Hemaglutininnya sama bisa digunakan Neuraminidase yang berbeda. Dimana penggunaan vaksin heterolog ini memudahkan pembedaan antara virus lapang yang menginfeksi dengan virus yang berasal dari vaksin itu sendiri. Inilah yang sering disebut sebagai prinsip DIVA/Differentiating Infection and Vaccinated Animal.
Vaksin heterolog dipakai pada vaksin konvensional karena sifatnya yang Low Pathogenic sehingga tidak berbahaya pada proses produksi vaksin dan dapat menghasilkan titer virus yang tinggi yang dibutuhkan dalam formulasi vaksin inaktif. Namun kelemahan dari vaksin jenis ini adalah antigenisitasnya yang tidak kompatibel sepenuhnya terhadap virus lapang sehingga besar kemungkinan terbentuk mutant akibat tekanan imunologis dalam bentuk antigenic drift.
Sedangkan Vaksin Konvensional Homolog yaitu vaksin yang menggunakan subtipe yang sama dengan subtipe virus yang ada dilapangan. Bila virus lapang adalah H5N1 maka vaksin yang digunakan adalah H5N1 juga. Keuntungan dari vaksin konvensional homolog ini adalah karena subtipenya yang sama dengan virus lapang sehingga antigenitasnya kompatibel dan tidak terbentuk mutant akibat tekanan imunologis (antigenic drift). Biasanya untuk kepentingan DIVA, berdasarkan penelitian terakhir dari virus H5N1 yang homolog, tesnya di lapangan menggunakan protein NS1 untuk membedakan respon antibodi yang terbentuk dari virus lapangan atau virus vaksin. Namun kelemahan dari vaksin konvensional homolog adalah hingga saat ini belum ada subtipe H5N1 yang bersifat Low Pathogenic sehingga vaksin-vaksin yang dibuat saat ini berasal dari seed virus H5N1 yang masih bersifat High Pathogenic.
Jenis vaksin yang ketiga adalah Vaksin Rekombinan Homolog. Ada banyak cara mendapatkan vaksin jenis ini, namun umumnya yang lazim digunakan dalam industri vaksin adalah tiga cara. Yaitu dengan DNA vaksin menggunakan vector plasmid, vaksin rekombinan aktif yang menggunakan vektor virus lain dan vaksin reverse genetic inaktif. Sedangkan untuk penggunaan prinsip DIVA sama seperti vaksin homolog lainnya bisa menggunakan protein NS1.
“Teknologi terbaru vaksin reverse genetic yang dikembangkan peneliti asal Jepang merupakan terobosan paling mutakhir dalam metode pembuatan vaksin. Karena vaksin dari jenis ini aman untuk diproduksi dalam skala besar sehingga dapat diproduksi pada fasilitas BioSafety Level 2 (BSL 2). Serta antigen yang dihasilkan memiliki homologi asam amino yang tinggi dengan isolat lapang (~ 100%),” ujar Nidom. Keunggulan lain dari vaksin reverse genetic ini menghasilkan titer antibodi yang tinggi dan konsisten serta dalam pembuatannya lebih menghemat waktu. Caranya adalah menghilangkan bagian yang bersifat patogen dari virus H5N1 dan menggabungkannya dengan virus flu jenis lain yang dapat dibiakkan dengan baik pada TET (tidak menyebabkan kematian embrio). Lebih jauh mengenai perbandingan metode pembuatannya dengan vaksin jenis lain bisa dilihat pada gambar.

Kelebihan Vaksin Reverse Genetic

Drh Kamaludin Zarkasie PhD, Direktur PT Shigeta Animal Pharmaceutical saat dijumpai Infovet selang jumpa pers menjelaskan, sebagaimana diketahui virus yang bersikulasi di Indonesia dan dunia adalah H5N1. Sedangkan antigen virus yang digunakan untuk vaksinasi harus homolog sesuai dengan virus lapangannya untuk memberikan perlindungan yang sempurna. Sementara problem dari H5N1 karena sifatnya yang patogenik sehingga kalau vaksinnya dibuat secara konvensional mengalami kesulitan karena patogenisitasnya yang tinggi menyebabkan hasil panenan virusnya terkadang rendah dan lagi bisa membahayakan operator di laboratorium saat produksi vaksin. Sehingga dengan teknologi reverse genetic ini sifat patogen virus tersebut bisa dihilangkan namun antigenisitasnya tetap dipertahankan.
“Sedangkan vaksin jenis lain yang seed virusnya berasal dari Meksiko subtipe H5N2 hanya memiliki homologi sekitar 86% dengan virus lapangan. Namun dengan vaksin reverse genetic bisa didapatkan homologi hingga 100%. Vaksin subtipe H5N2 dari Meksiko tersebut dipilih karena kesiapan kita yang pada waktu itu sangat darurat,” ujar Kamal panggilan akrabnya.
Sementara itu Dr Drh I Wayan Teguh Wibawan, Dekan FKH IPB memaparkan, karena sifat virus Avian Influenza yang mudah sekali mengalami mutasi baik melalui genetic drift maupun genetic shift, maka IPB Shigeta mengembangkan vaksin AI dengan teknologi reverse genetic. Keunggulan lain dari vaksin hasil reverse genetic ini seed virusnya sangat mudah disesuaikan dengan perubahan. Metode ini bisa disebut sistem knock down artinya bisa dibongkar pasang sehingga bila terjadi perubahan dengan virus lapang maka dengan cepat kita bisa menyesuaikan vaksin sesuai dengan perubahan yang terjadi dengan tinggal memasangkan atau mengganti DNA/RNA virus yang mengalami mutasi.
“Virus influenza adalah virus yang memiliki dinamika yang sangat tinggi, sehingga kita harus secara terus menerus melihat perubahan apa yang terjadi di lapangan. Dengan teknologi reverse genetic ini master seed-nya bisa disesuaikan dengan virus lapang,” tutur Kamal.
Senada dengan Nidom, Kamal menjelaskan untuk prinsip DIVA tesnya di lapangan bisa menggunakan antigen protein NS1 untuk membedakan respon antibodi yang terbentuk dari virus lapangan atau virus vaksin. Protein NS 1 (non structur 1) ini baru diproduksi oleh sel bila ada virus hidup dan aktif didalam sel.

Lebih Aman

Lebih lanjut, Kamal menjelaskan, dengan teknologi ini atenuasi virus yang digunakan untuk memproduksi vaksin ini tidak secara konvensional melalui passase yang biasa dilakukan pada pembuatan vaksin konvensional untuk mengurangi patogenistasnya. “Nah pada saat proses passase inilah yang memungkinkan terjadinya mutasi yang merupakan sifat alamiah dari virus AI. Untuk mengatasi dilema inilah dipilih teknologi reverse genetic sehingga tanpa melalui passase yang berkali-kali kita bisa menghilangkan faktor virulensinya dan peluang mutasi itu menjadi tidak ada. Lebih lanjut vaksin ini merupakan killed vaccine yang sesuai dengan rekomendasi OIE (Badan Kesehatan Hewan Dunia) sehingga tidak menimbulkan mutasi atau shedding ke lingkungan sekitar,” tambah Kamal.
“Vaksin reverse genetic ini jauh lebih aman daripada vaksin jenis konvensional karena homologinya yang mencapai 100%. Pentingnya homologi 100% karena jika vaksin hanya memiliki homologi 80% berarti ia juga memiliki celah 20% untuk virus masuk ke dalam tubuh dalam jumlah sedikit dan menimbulkan infeksi yang disebut sub klinis. Pada kondisi ini ayam tidak menunjukkan gejala sakit atau kematian namun kehadiran virus tersebut mampu merusak organ reproduksi sebagai contoh ovarium ayam yang akhirnya menyebabkan penurunan produksi telur. Teknologi reverse genetic ini juga merupakan pilihan bila selanjutnya kita akan mengembangkan vaksin untuk influenza pada manusia,” papar Wayan.
Di lain pihak, Kamaludin Zarkasie meyakinkan, dari hasil uji PCR di Tropical Disease Center Universitas Airlangga-Surabaya (TDC Unair), dari 100% hasil swab kloaka ternyata tidak ditemukan shedding virus pada feses ayam yang divaksin. Sedangkan, dari sisi keamanan tidak terjadi perubahan klinis maupun depresi pada ayam, sehingga vaksin ini 100% memberikan proteksi dan sama sekali tidak menimbulkan efek samping apapun berdasarkan uji tantang yang dilakukan TDC Unair.
Untuk jadwal vaksinasi, Kamal menjelaskan, sebaiknya dilakukan pada umur 10-12 hari untuk vaksinasi pertama dan diulang (booster) setelah 3-5 minggu berikutnya. Aplikasi vaksinasi bisa dilakukan secara subkutan atau intramuskular. Antibodi protektif bisa diukur setelah hari ke-4 dari waktu vaksinasi. Kekebalan protektif bisa muncul setelah 4 hari kemungkinan disebabkan loading antigennya yang cukup tinggi karena Shigeta menggunakan virus flu strain Puerto Rico 8 (PR 8) untuk pembuatan vaksin. PR 8 sudah 30 tahun digunakan untuk pembuatan vaksin flu pada manusia. PR 8 direkomendasikan Badan Kesehatan Dunia/WHO karena kemampuan tumbuhnya yang tinggi pada embrio dan secara alamiah sangat stabil sehingga antigenisitasnya cukup tinggi.
Untuk meningkatkan hasil vaksinasi, Wayan menyarankan, hindari hal-hal yang bisa meningkatkan stress pada ayam seperti aplikasi vaksinasi menjelang puncak produksi. Dilihat dari perbandingan harga, harga vaksin AI reverse genetic ini cukup mahal yaitu sekitar Rp 600 per dosis. Dan sepanjang produksi ayam hanya dibutuhkan 2 kali vaksinasi sedangkan untuk vaksin jenis lain membutuhkan 3-4 kali vaksinasi. Bagi anda peternak layer yang harus melakukan program vaksinasi AI, ya tinggal hitung-hitungan saja mana yang lebih ekonomis antara vaksin yang sekarang anda gunakan dan vaksin AI yang baru ini. (wan)

Keterangan : Buku pendukung terkait artikel di atas adalah : Buku IOHI & Feed Compandium.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>