Fokus: Seni Perang Melawan Gumboro

Tips-Pencegahan-Penyakit-Ayam-Broiler

Seni Perang Melawan Gumboro

Oleh: Tony Unandar  (Anggota Dewan Pakar ASOHI)

Walaupun sudah lebih dari setengah abad sejak Albert Cosgrove berhasil memindai kasus penyakit Gumboro alias Infectious Bursal Disease (IBD) pada ayam untuk pertama kalinya di kota kecil Gumboro, Delaware – Amerika; namun sampai kini para peneliti, dokter hewan dan praktisi perunggasan global belum juga berhasil meminimalisir dampak kerugian yang ditimbulkannya.  Alih-alih melakukan eradikasi, tetapi justru sekarang penyakit tersebut semakin tersebar luas secara universal, terutama pada sentra perunggasan moderen yang intensif.  Mengapa dan ada apa?  Tulisan ini mencoba menelisiknya setelah ada tambahan bekal dari salah satu fokus materi yang dikupas dalam Poultry Vaccinology Summit 2016 pada pertengahan bulan Maret silam di Barcelona Spanyol.

macam-macam strategi

Secara mendasar, strategi kontrol penyakit hewan dalam bentuk populasi (termasuk unggas atau ayam) terdiri dari 2 bagian yang sama pentingnya, yaitu:

(a)   STRATEGI PENCEGAHAN (PREVENTION):  yaitu segenap tindakan yang terfokus pada bagaimana pengelolaan terhadap agen penyebab penyakit dalam suatu area tertentu (bisa kandang, flok atau unit farm), misalnya: program istirahat kandang (downtime program), program biosekuritas, program eradikasi, dan tatalaksana pemeliharaan yang higienis. Tegasnya, strategi pencegahan adalah segala tindakan untuk meminimalisir dekontaminasi patogen di suatu area atau tempat dari waktu ke waktu.

(b)   STRATEGI PERLINDUNGAN (PROTECTION):  yaitu segenap tindakan yang terfokus pada bagaimana mempertahankan kondisi induk semang (host) tetap prima dari waktu ke waktu.  Contoh dari strategi kedua ini adalah program pemberian pakan dengan asupan nutrisi yang cukup dan berimbang, program vaksinasi, program medikasi dan tatalaksana pemeliharaan terutama terkait dengan tindakan-tindakan untuk mereduksi faktor stres lapangan semaksimal mungkin.  Di lapangan, walaupun tidak seratus persen benar, strategi perlindungan (protection) sering diidentikkan dengan program vaksinasi.

Pada tingkat operasional lapangan, ada variasi penekanan antara kedua bagian strategi tersebut, tergantung pada karakteristik agen penyebab penyakit, distribusi atau sebaran populasi induk semang dalam hal ini ayam dan strategi umum pemegang otoritas setempat.  Contoh: beberapa penyakit viral pada unggas yang merupakan penyakit infeksius yang mempunyai potensi epizootik, misalnya Newcastle Disease (ND), Infectious Bronchitis (IB), Infectious Laryngotracheitis (ILT), dan Avian Influenza (AI); walaupun bisa dikontrol via kedua bagian strategi tersebut secara serempak, namun beberapa negara lebih memilih penekanan pada strategi pertama (prevention) saja dan menerapkan tindakan “stamping out” jika terjadi ledakan kasus, serta tidak menggunakan program vaksinasi sama sekali.

Kondisi yang agak berbeda dengan penyakit viral lainnya pada ayam, yaitu penyakit Marek dan Gumboro.  Karena karakteristik agen penyebabnya agak unik, maka tak satupun sentra peternakan ayam moderen di dunia yang bebas terhadap kedua penyakit viral tersebut.

Pada penyakit Marek misalnya, program vaksinasi Marek dikatakan sukses bila maksimum hanya bisa melindungi ayam dari kemunculan manifestasi gejala klinis, tetapi tidak melindungi ayam dari infeksi virus Marek yang berasal dari lapangan.  Walaupun begitu, kerugian ekonomis akibat Marek sudah dapat diminimalisir secara signifikan.  Hal ini tentu saja sudah dibuktikan secara ilmiah yaitu setelah ada perkembangan yang spektakuler dalam uji mikrobiologi molekuler (RT-PCR), sehingga virus Marek yang ditemukan dalam suatu organ tubuh ayam yang sudah divaksinasi Marek dapat dengan mudah dibedakan dari virus Marek yang berasal dari lapangan.

Pada penyakit Gumboro, situasinya juga agak berbeda dengan Marek.  Agar pemahamannya lebih jelas, ada baiknya simak terlebih dahulu penjelasan tentang dinamika virus Gumboro di lapangan dan di dalam tubuh ayam di bawah ini.

dinamika Virus IBD DI lapangan

IBD disebabkan oleh virus Gumboro, sejenis virus RNA yang tergolong dalam Avi-Birnavirus.  Virus ini di lapangan terbukti sangat tahan terhadap faktor-faktor fisik (suhu tinggi dan atau kelembaban yang relatif rendah) dan terhadap kebanyakan disinfektan yang ada di lapangan, terutama jika terlindung oleh material organik seperti feses.  Dalam tubuh insekta seperti “darking beetles” (sejenis kutu) virus bisa bertahan hidup dengan patogenisitas yang tidak menurun sampai berbulan-bulan.  Dengan demikian, ada beberapa hal yang bisa diterangkan terkait dengan karakteristik virus seperti itu:

1)     Virus IBD bisa endemik (menetap) di suatu peternakan ayam dan potensial akan menjadi penyakit menular yang bisa bersifat epizootik dengan dampak yang sangat merugikan.

2)     Selain istirahat kandang (down time) yang terlalu singkat (kurang dari 3 minggu), juga implementasi tindakan biosekuritas seperti sanitasi dan disinfeksi kandang  dan atau lingkungan kandang yang ceroboh dapat mengakibatkan tingginya residu virus IBD lapangan bagi DOC pada periode berikutnya.  Ujung-ujungnya adalah adanya tantangan virus IBD yang sangat dini pada DOC yang baru masuk. Kondisi ini tentu akan diperparah dengan tidak adanya program kontrol insekta di peternakan tersebut.

3)     Residu virus IBD lapangan yang berlangsung antar periode/generasi ayam akan memberikan kesempatan bagi virus tersebut untuk beradaptasi dengan ayam dan ujung-ujungnya bisa terbentuk strain atau varian baru dengan patogenisitas yang jauh lebih hebat, artinya mempunyai kemampuan untuk merusak organ tubuh ayam terutama Bursa Fabricius semakin hebat dan cepat.

Dari penjabaran di atas, maka dapat dipastikan bahwa virus Gumboro lapangan telah ada di dalam kandang atau farm sebelum DOC ditebar.  Itulah sebabnya peluang DOC untuk mendapatkan infeksi dini Gumboro sangatlah besar.  Karakteristik infeksi dari tantangan dini virus Gumboro lapangan ini sangat tergantung kepada status umum DOC, status kekebalan induk (level titer dan keseragaman titer), serta kualitas dan kuantitas virus Gumboro lapangan yang ada.  Jadi, dari paparan ini dapat diambil kesimpulan, bahwa kontrol penyakit Gumboro di lapangan tidak dapat melupakan pendekatan yang kuat dari strategi pencegahan (prevention) untuk mengurangi kejadian infeksi dini dan untuk menekan kualitas tantangan virus yang ganas akibat adanya total inokulum yang tinggi.

Maka, bentuk nyata strategi pencegahan (prevention) dalam konteks untuk kontrol penyakit IBD di lapangan adalah:

(a)   Cukup istirahat kandang (downtime) antar periode/angkatan ayam, minimum kandang dalam keadaan bersih dan sudah disanitasi selama 3 minggu.

(b)   Proses membersihkan kandang juga harus cermat dan teliti, tidak boleh ada sisa feses yang tertinggal dalam kandang.  Disinfektan kelompok aldehida dan halogen dapat bekerja cukup baik untuk virus Gomboro.

(c)   Lakukan kontrol serangga atau insekta pada umumnya secara periodik, terutama pada saat kosong kandang.

(d)   Implementasikan dengan cermat, teliti dan konsisten tindakan-tindakan biosekuritas selama ada ayam dan saat istirahat kandang.

(e)   Afkir ayam yang lemah dan yang sangat kecil secepatnya, karena ayam yang demikian dapat menjadi pijakan pertama virus Gumboro lapangan untuk memperbanyak diri dalam populasi ayam yang ada (amplifier birds).

DINAMIKA VIRUS IBD DALAM TUBUH AYAM

Virus Gumboro melakukan penetrasi ke dalam tubuh ayam umumnya secara per-oral, yaitu via saluran cerna.  Walaupun secara penelitian port d’entry virus Gumboro bisa secara per-inhalasi yakni via sistem pernafasan, namun infektifitas (kemampuan menginfeksi)-nya jauh lebih rendah dibandingkan dengan via saluran cerna.  Beberapa jam setelah virus melakukan penetrasi, virus dapat dideteksi dalam sel makrofag dan sel-sel limfosit sistem pencernaan seperti duodenum, jejunum, sekum dan jaringan hati.  Segera setelah itu terjadi viremia fase pertama yang memungkinkan virus dapat mencapai target organ utama yaitu jaringan Bursa Fabricius untuk melakukan replikasi (perbanyakan partikel virus).  Replikasi virus inilah yang menyebabkan perubahan/lesio jaringan Bursa Fabricius baik secara makroskopik maupun mikroskopik.  Dengan demikian, derajat kerusakan secara masif pada sel limfosit-B sebenarnya dapat diketahui lewat adanya variasi lesio makroskopik dan mikroskopik jaringan Bursa Fabricius.  Inilah menjadi dasar Bursal Scoring (makroskopik atau mikroskopik) untuk menakar derajat keparahan infeksi yang terjadi.

Selanjutnya, beberapa jam setelah replikasi secara masif terjadi di jaringan Bursa Fabricius, viremia fase kedua terjadi dengan cepat dan sebagian virus akan bersembunyi di dalam limpa.  Pada fase ini ayam akan mengalami depresi dan demam yang hebat diikuti dengan perdarahan pada beberapa organ tubuh seperti pada otot kerangka dan proventrikulus.  Intensitas dan kompleksitas lesio pada organ tubuh selanjutnya sangat tergantung pada strain dan keganasan virus yang menyerang, genotipe ayam, status kekebalan yang ada, umur ayam saat infeksi, keberadaan faktor stres lain serta kejadian infeksi lain yang menyertai kasus Gumboro tersebut.

Ditinjau dari dinamika virus Gumboro di dalam tubuh ayam, maka ada beberapa makna penting yang bisa dikaitkan dengan kondisi realistis lapangan dalam konteks strategi perlindungan (protection), yaitu:

1)     Pada DOC, keberadaan antibodi induk terhadap penyakit Gumboro merupakan kondisi awal yang sangat krusial untuk mencegah kerusakan Bursa Fabricius secara masif pada ayam umur sampai dengan 3 minggu. Hal ini penting, karena keberadaan antibodi induk yang cukup (Biochek rata-rata 5000), dapat mencegah atau menghambat virus IBD lapangan yang menginfeksi untuk mencapai jaringan Bursa Fabricius, sehingga kerusakan bursa (sel limfosit-B) dan replikasi virus dapat dicegah, dan ujung-ujungnya adalah efek imunosupresi serta “viral shedding” dapat dicegah sedini mungkin.   Pada ayam di bawah umur 3 minggu, sel-sel limfosit-B (bursal origin B-cells) belum optimal bermigrasi ke jaringan limfoit sekunder, sehingga jika ada invasi virus IBD lapangan, maka dampaknya adalah efek imunosupresi yang ditimbulkannya sangat kuat.  Kalau mengacu pada fakta lapangan, ada banyak kasus Gumboro terjadi secara dini akibat baik terkait rendahnya titer antibodi induk dan atau tidak seragamnya titer antibodi dari induk dengan alasan yang sangat beragam.  Kondisi seperti ini tentu dapat mengakibatkan infeksi dini oleh virus Gumboro lapangan yang memang endemik di kandang/farm tersebut dan ujung-ujungnya adalah tantangan virus dalam kandang akan meningkat karena adanya “viral shedding” dari ayam yang terinfeksi.  Dengan demikian, keberadaan antibodi induk yang cukup tinggi dan seragam seragam pada DOC merupakan bagian dari strategi perlindungan (protection) yang penting pada awal kehidupan ayam.

Pada penelitian lanjut terkait dengan uji mikrobiologi molekuler, yaitu dengan teknik RT-PCR, keberadaan asal virus Gumboro dalam jaringan Bursa Fabricius dapat dibedakan dengan mudah, apakah virus tersebut berasal dari lapangan atau dari vaksin.  Dilain pihak, juga sudah diketahui bahwa jika jaringan Bursa Fabricius yang sudah ditempati (okupasi) oleh virus Gumboro dari vaksin aktif, maka kecil sekali peluangnya untuk dapat diinfeksi virus Gumboro dari lapangan, demikian juga sebaliknya.  Juga perlu diingat, virus IBD lapangan sudah dapat menginfeksi ayam pada level tertentu dari antibodi induk sebelum mencapai nol.  Ini berarti, untuk kekebalan flok/populasi, masa transisi pada strategi perlindungan (protection) yaitu dari antibodi induk (kekebalan pasif) ke antibodi hasil vaksinasi (kekebalan aktif) menjadi sangat kritis, karena dapat mengurangi peluang virus IBD lapangan yang endemik menyerang ayam pada fase transisi tersebut.  Hal inilah yang bisa menerangkan mengapa vaksin IBD aktif dalam bentuk sediaan “immune complex” memberikan perlindungan flok/populasi yang lebih konsisten dibandingkan vaksin IBD aktif dalam bentuk sediaan konvensional yang berisi virus IBD aktif yang sudah diatenuasi, terutama pada populasi DOC dengan titer antibodi induk yang sangat beragam.  Dengan kata lain, vaksin Gumboro aktif dalam bentuk sediaan “immune complex” dapat mengurangi atau bahkan mencegah peluang virus Gumboro lapangan menginfeksi ayam serta mencegah/menguranginya untuk mencapai jaringan Bursa Fabricius, mencegah/mengurangi peluang terjadinya replikasi dan akhirnya tentu saja mengurangi atau bahkan mencegah “viral shedding” dari virus IBD lapangan.  Ini berarti strategi pencegahan (prevention) lanjut yang mengiringi strategi perlindungan (protection) akan semakin nyata. (toe)

Sumber: www.majalahinfovet.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>