Fokus: PERAN ENZIM DALAM PAKAN UNGGAS

shutterstock_410942572_1-1500x630 (www.dmrpoultries.com)

PERAN ENZIM DALAM PAKAN UNGGAS

Sebelum kita bicara penggunaan enzim dalam upaya meningkatkan kecernaan pakan. Ada baiknya kita menyikapi prospek bisnis pakan unggas. Sebagai mana disampaikan Drh. Desianto Budi Utomo, Ph.D Dewan Riset Nasional (DRN) Komisi Teknologi Pangan dan Pertanian di Jakarta

Mengawali presentasinya, Desianto menuturkan bahwa Asia merupakan pusat pertumbuhan ekonomi ke depan, maka prospek ekonomi Indonesia sangat menjanjikan. Begitu juga pasar domestik Indonesia masih berpotensi besar untuk dinaikkan konsumsinya, kalau konsumsi daging ayam broiler masih sekitar 10 kg/kap/tahun, seperempatnya dari Malaysia.

Untuk meningkatkan angka konsumsi ini perlu kerjasama seluruh stakeholder perunggasan untuk melakukan edukasi secara masif melalui peningkatan kampanye konsumsi daging dan telur ayam, sebagai sumber protein hewani utama.

Selain memiliki peluang, pasar komoditi unggas Indonesia juga memiliki tantangan yaitu ancaman masuknya importasi produk unggas dari negara tetangga yang pasarnya sudah jenuh. Untuk itu, Desianto menyarankan perlunya ancaman ini antisipasi dengan memupuk soliditas dan upaya keras untuk peningkatan efisiensi dari para pelaku industri dalam negeri. Salah satunya dengan menekan biaya produksi dan menekan kerugian.

Desianto menuturkan beberapa faktor yang mempengaruhi daya saing industri pakan kita adalah area produksi peternakan yang masih sangat luas di luar Jawa. Selain itu pasar domestik yang sangat besar juga menjadi incaran para produsen unggas luar negeri untuk memasukkan produknya.

Kapasitas terpasang industri hulu sangat besar dan belum semua teroptimalkan. Serta jangan lupa teknologi yang kita gunakan sudah sangat maju dan modern sehingga tidak tertinggal dengan teknologi negara tetangga.

Untuk sistem peternakan yang padat karya, SDM kita tersedia cukup banyak terdidik dan handal dengan banyak latar belakang pendidikan. Kekurangannya justru dari sumber daya alam kita yang belum digarap secara optimal.

Dari sisi ekonomi meskipun terjadi perlambatan namun tren pertumbuhan makro ekonomi dan daya beli tetap di level positif. Bisnis perunggasan merupakan pilar industri pakan, namun pilar ini sangat rapuh karena sebagian bahan baku pakan masih bergantung pada impor. Contohnya bahan baku pakan seperti soy bean meal, meat bone meal, poultry meat meal, berbagai asam amino semua masih harus didatangkan dari impor. Sehingga cost structure pakan ditentukan 80 persen oleh bahan baku pakan.

Kerapuhan kedua dari bisnis perunggasan adalah ketergantungan Indonesia dengan bibit impor. Kita belum bisa memiliki GPS dan Pure Lines yang diproduksi di dalam negeri. Sehingga jika sewaktu-waktu ada masalah atau hambatan impor dari negara pemasok, produksi unggas dalam negeri rawan goyah.

Belum lagi soal kebijakan Pemerintah Pusat yang sering tidak didukung oleh Pemda dalam bentuk Perda yang terkadang saling tumpang tindih. Masalah penyakit AI yang masih belum bebas disebagian besar wilayah Indonesia juga turut menurunkan daya saing perunggasan Indonesia.

Beberapa hal yang menjadi kelemahan industri perunggasan Indonesia diantaranya struktur industri masih terfragmentasi (integrasi partial), infrastruktur lemah, supporting financial kurang (tidak ada bank pertanian), sosialisasi dan edukasi (tentang produk) kepada masyarakat masih minim.

 

Seputar Masalah Jagung

Seretnya pasokan dalam negeri dan tertahannya impor memicu kenaikan harga jagung yang merupakan komponen dasar pakan ternak ayam yang pada akhirnya membuat harga ayam di pasaran ikut menjadi tinggi. Namun menurut Sekretaris Jenderal Dewan Jagung Nasional, Maxdeyul Sola, produksi jagung dari dalam negeri sebenarnya sudah melebihi kebutuhan peternak ayam untuk membuat pakan untuk hewan ternak mereka. “Dari segi data BPS melebihi kebutuhan pabrik pakan,” kata dia saat dikonfirmasi Infovet via telepon.

Namun bila diperhatikan lebih lanjut, ada masalah yang mengakibatkan tingginya produksi tersebut belum bisa mengimbangi kebutuhan para peternak. Masalah tersebut adalah panen yang tidak merata dan buruknya penanganan pasca panen.

Pada bulan-bulan tertentu, pasokan jagung sangat berlimpah, namun di waktu lainnya ketersediaan jagung sangat terbatas karea hampir tidak ada panen. Sedangkan akibat penanganan pasca panen yang buruk, kualitas jagung menjadi kurang memenuhi standar untuk dijadikan pakan ternak.

Sehingga menurutnya, masih diperlukan pasokan impor. “Produksi tidak merata sepanjang tahun dan ada penanganan pasca panen yang kurang baik sehingga tidak memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk pakan, sehingga masih perlu ada impor untuk mencukupi kebutuhan pabrik pakan,” ungkap Max.

Namun menurut Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementan Agung Hendriadi di kantor Kementan, tingginya konsumsi jagung di tanah air menjadi salah satu faktor yang memicu adanya gejolak harga pada komoditas jagung. Pasalnya variasinya kebutuhan masyarakat menjadi alasan tingginya serapan jagung.

“Kebutuhan konsumsi kita kan sangat bervariasi dan yang paling besar itu pada soal kebutuhan pakan,” ujar Agung Hendriadi.

Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa kebutuhan akan jagung pada saat ini meliputi 3 bagian, yakni untuk konsumsi langsung masyarakat, untuk produksi, dan juga untuk industri pakan. Namun ia memastikan hingga akhir tahun kebutuhan akan jagung tanah air bisa terpenuhi. “Kita pastikan bahwa ketersediaan jagung kita dari Agustus-Desember aman,” demikian katanya.

Ia juga mengungkapkan bahwa kendati pada bulan-bulan tertentu seperti Januari, Mei-Juli tahun ini mengalami defisit tetapi masih bisa tercover dengan hasil produksi pada bulan-bulan sebelumnya. Ia juga meyakini bahwa dengan terus meningkatnya produksi jagung tanah air dan tetap stabilnya konsumsi masyarakat maka hingga akhir tahun stok jagung akan aman.

Dari data yang dikeluarkan Kementan sendiri hingga akhir tahun produksi jagung nasional mencapai 24.798,7 ribu ton sementara kebutuhan konsumsi masyarakat mencapai 22.671,5 ribu ton Dari perkiraan tersebut jagung nasional masih akan surplus hingga 2.127,2 ribu ton.

 

Substitusi Jagung dengan Gandum

Sementara itu menurut Prof Budi Tangendjaja untuk mengatasi masalah ketersediaan jagung yang fluktuatif, maka dapat diupayakan melalui subtitusi jagung dengan bahan pakan lain yang kandungan energinya tinggi. Bahan pakan sebagai substitusi jagung antara lain sorgum, gaplek atau singkong, dedak padi, minyak (CPO), dan gandum. Sorgum dapat digunakan sebanyak 10% untuk menggantikan jagung karena keterbatasan produksi dan tidak tersedia sepanjang tahun. Sorgum memiliki permasalahan kandungan tanin yang berpengaruh negatif terhadap unggas sehingga penggunaannya dalam jumlah sedikit.

Singkong atau gaplek juga dapat menggantikan jagung. Namun, kandungan protein gaplek relatif rendah sehingga perlu penambahan sumber protein lain yang dapat menyebabkan biaya pakan menjadi mahal. Dedak padi juga dapat menggantikan jagung. Penggunaan dedak padi memiliki masalah pemalsuan dengan sekam. Sekam padi tidak memiliki nilai gizi sama sekali untuk unggas, sehingga penambahansekam padi sebesar 20-40% dari total dedak padi sangat menurunkan nilai gizi dedak padi.

Sementara itu gandum adalah sekelompok tanaman serealia dari suku padi-padian yang kaya akan karbohidrat. Gandum biasanya digunakan untuk memproduksi tepung terigu, pakan ternak, ataupun difermentasi untuk menghasilkan alkohol. Penggunaan gandum di Indonesia biasanya dijadikan sebagai pengganti disaat kesulitan dalam mendapatkan jagung.

 

Tabel 1. Kandungan Gizi Biji-bijian Jagung dan Gandum.

Average composition (%, as fed basis) Corn Wheat
Starch 65.2 59.5
Protein 7.6 11.9
Oil 3.9 2.0
Non-Starch Polysaccharides (NSP)
Total NSP
Soluble NSP
8.7
0.2
10.9
2.2
Phosphorus (P)
Total-P
Phytate-P
0.24
0.19
0.31
0.22
Average energy value (kcal/kg, as fed) Corn Wheat
Metabolisable Energy (ME) for poultry 3,300 3,050
Digestible Energy (DE) for pigs 3,600 3,350

 

Kita harus memiliki strategi yang memungkinkan penggantian satu jenis bahan pakan dengan yang lain untuk mengurangi risiko yang melekat pada volatilitas pasar dalam harga bahan baku dan pasokannya. Mengganti seluruh atau sebagian jagung dalam pakan dengan gandum mungkin hal yang menarik untuk mengurangi biaya pakan dan mempertahankan profitabilitas. Untuk itu perlu disiapkan informasi yang benar dan pengetahuan akan tambahan aditif pakan, ketika menerapkan strategi tersebut, agar memastikan hasilnya, produktivitasnya dan menguntungkan.

Pemakaian gandum (> 50%) dalam formulasi pakan adalah hal yang sangat umum dilakukan di Eropa Utara, Kanada dan Australia. Namun, di pasar Asia, penggunaannya terbatas dalam pakan karena adanya beberapa hambatan. Hal ini terutama berkaitan dengan fakta bahwa nilai yang melekat pada gizi gandum lebih bervariasi dibandingkan dengan jagung dan karena itu, penggunaannya memberikan risiko dalam mempertahankan produktivitas ternak. Namun, dengan penggunaan enzim dalam pakan dapat mengurangi dan menghilangkankan banyak risiko yang dirasakan ketika menggunakan gandum sebagai pengganti jagung.

Seperti terlihat pada Tabel 1, gandum memiliki lebih banyak protein dari jagung, tapi mengandung pati lebih sedikit dan lebih non-pati polisakarida (non-starch polysacharide). Akibatnya, digestible gandum atau energi metabolismenya lebih rendah dari jagung.

foto_1

 

 

 

 

 

 

 

Protein dan kadar asam amino dalam gandum mempunyai rentang yang lebih besar dari pada jagung dan selain memiliki kandungan protein lebih tinggi, gandum juga memiliki profil asam amino yang berbeda dari jagung (misalnya mengandung sekitar 30% lebih lisin). Sebagai akibatnya, diet yang diformulasikan dengan gandum harus seimbang secara asam amino dicerna tetapi tidak secara protein kasar.

Arabinoxylans mewakili non-cellulosic non-starch polysaccharides (NSP) komponen yang ada pada keduanya, namun tidak seperti jagung, gandum mengandung NSP yang larut. Tingginya kadar NSP larut bertanggung jawab atas meningkatnya viskositas usus dan menyebabkan penurunan kinerja pemanfaatan dan gizi hewan (Gambar 1). Hal ini juga dapat mengakibatkan proliferasi mikroba meningkat dalam usus dan kualitas litter rendah (Choct dan Annison, 1992; Steenfeldt, 2001; Carré et al, 2002;. Barletta, 2003).

foto_2

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Untuk kedua spesies hewan, bagian tidak larut NSP gandum dan jagung bertanggung jawab untuk enkapsulasi nutrisi, menyebabkan aksesibilitas rendah dari pati dan protein. Selain itu, kapasitas menyimpan air dari serat tidak larut dapat menurunkan ketersediaan air yang larut nutrisi dan juga mengurangi jumlah konsumsi pakan. Yang penting, semua masalah ini dapat dengan mudah diatasi dengan penggunaan enzim NSP yang sesuai.

Mengenai mineral penting, gandum mengandung fosfor yang lebih tinggi dari jagung dan, yang lebih penting, ia memiliki proporsi fosfor yang lebih besar. Selain itu, aktivitas fitase endogen lebih tinggi pada biji gandum dibandingkan jagung. Meskipun memiliki kandungan Metabolisme energi yang rendah namun gandum memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dibanding jagung. (inf)

Sumber: www.majalahinfovet.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>