FOKUS: Penyakit Viral Penurunan Produksi Telur

Penyakit Viral Penurunan Produksi Telur_2

Penyakit Viral Penurunan Produksi Telur

 

Fenomena harga telur yang meroket tinggi menjadi pertanyaan besar ada situasi apakah di peternakan petelur saat ini. Saat era AGP dicabut apakah ada dampak dari penurunan tersebut? Penulis mencoba menganalisa dari sisi kesehatan penyakit viral yang berpotensi terhadap penurunan produksi telur, sehingga berimplikasi terhadap kenaikan harga telur. Ayam petelur mulai berproduksi ketika mencapai umur 17-18 minggu dengan tingkat produksi sekitar 5%. Pada waktu umur 25 minggu produksi telur dapat mencapai puncak di atas 90%. Kuncinya adalah disini saat produksi puncak bagaimana peternak bisa mempertahankannya, disini ancaman penyakit yang dikenal dengan 90/40 menjadi momok bagi produksi telur.

Seperti diketahui, penyakit Newcastle Diseases (ND), Infectious Bronchitis (IB), Avian Influenza (H5N1), Infectious Laryngotracheritis (ILT) dan Egg Drop Syndrom (EDS) sudah lama menjadi penyakit endemis di Indonesia dan menyebabkan kerugian ekonomis yaitu penurunan produksi telur yang nyata pada sektor ayam petelur. Walaupun sudah lama berinteraksi dengan semua penyakit tersebut dengan menyiapkan kekebalan ayam menggunakan program vaksinasi yang tepat, tidak mungkin tantangan penyakit tersebut masih muncul dan menyebabkan kerugian. Justru dengan adanya program vaksinasi, gejala-gejala khas dari masing-masing penyakit tersebut biasanya tidak nampak dan hanya terlihat penurunan produksi telur ataupun hanya penurunan kualitas telur dengan persentasi yang bervariasi. Secara khusus penulis akan membahas penyakit yang sedang fenomena saat ini yaitu Avian Influenza yang lebih dikenal dengan sindrom penyakit 90/40.

 

Avian Influenza

Penyakit tersebut akhir-akhir ini menjadi primadona dan banyak diperbincangkan, tidak hanya di Indonesia tapi diseluruh dunia. Bulan Agustus 2017 lalu, pemberitaan tentang teridentifikasinya virus AI H5N1 di Filipina juga tidak luput menjadi perbincangan, sedangkan di Indonesia, H9N2 lebih banyak dibicarakan porsinya dibandingkan H5N1 karena ada beberapa laporan baru mengenai teridentifikasinya virus ini di lapangan. Penyakit AI secara garis besar dikategorikan menjadi dua, yaitu Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI), misal H5N1 dan Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI), misal H9N2.

 

Highly Pathogenic Avian Influenza

Sudah lama diketahui bahwa ayam petelur yang mendapatkan serangan virus H5N1 akan mengalami gangguan produksi telur. Variasi gejala dan tingkat kematian yang muncul pada ayam masa produksi sangat tergantung kekebalan ayam, kepadatan virus yang menantang dan kondisi umum ayam. Virus H5N1 didominasi dari grup clade 2.3.2.1 yang menjadi ancaman bagi ayam petelur di Indonesia. Tidak jarang gejala yang muncul hanya penurunan produksi telur tanpa ada kematian, hal ini salah satunya diakibatkan program vaksinasi yang hanya melindungi dari kematian tetapi tidak pada penurunan produksi dalam kasus-kasus tertentu.

Untuk mendapatkan perlindungan yang bagus terhadap tantangan H5N1 di masa produksi, tingkat dan keseragaman kekebalan juga penting. Penggunaan vaksin kill AI H5N1 sangat membantu perlindungannya dan tentu saja didukung dengan antigenic matching dari seed vaksin kill yang digunakan. Perlindungan dari vaksin kill hanya untuk kekebalan yang bersifat humoral sehingga gap protectionbisa sebesar 40% karena perlindungan lokalnya tidak ada (seminar Prof Wayan Teguh Wibawan, 2017).

 

Low Pathogenic Avian Influenza

Salah satu virus AI yang digolongkan LPAI yaitu H9N2, virus ini pertama kali dilaporkan terjadi pada kalkun yang mengalami gangguan pernafasan ringan tahun 1966. Di dunia, virus H9N2 dibagi menjadi dua garis keturunan utama, yaitu North America dan Eurasian, untuk garis keturunan Eurasian dibagi menjadi tiga yaitu G1-like, Y280 like dan Y439 like. Sifat virus ini mayoritas bereplikasi di sel epitel pernafasan dan bisa juga di sel epitel pencernaan, replikasinya bersifat lokal dikarenakan cleveage site yang monobasic. Hal ini yang menyebabkan shedding atau penyebaran virus dari ayam yang terinfeksi mayoritas terjadi di oronasal dibandingkan di cloaca dan terjadi 2-10 hari pasca infeksi baik dari grup G1-like ataupun Y280-like. Gejala yang terlihat antara lain gangguan pernafasan dan munculnya gejala yang lebih parah dimana terjadi perkejuan di trachea dan kantung hawa jika diinfeksi bersamaan dengan virus Infectious Bronchitis (sumber, seminar Ceva Animal Health). Hal ini memungkinkan H9N2 menjadi triger munculnya infeksi sekunder penyakit pernafasan lainnya. Berdasarkan laporan dari Mesir oleh Hasan et all (2016), menunjukkan bahwa 41,9% infeksi virus H9N2 berbarengan dengan virus IB, 10,5% gabungan dengan H5 dan IB, hanya 7% infeksi tunggal H9N2. Hal ini menunjukkan, infeksi gabungan virus H9N2 dengan bibit penyebab penyakit pernafasan lainnya sangat mudah ditemukan karena sifat virus ini mayoritas bereplikasi di trachea.

 

Penyakit Viral Penurunan Produksi Telur

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pendarahan pada ovariom

 

Gangguan pernafasan yang komplek diduga akan menyebabkan munculnya kematian atau hanya penurunan nafsu makan yang berujung pada penurunan produksi dan kualitas telur jika menginfeksi ayam tipe petelur. Selain itu Qi et all (2016), melaporkan bahwa virus H9N2 juga ditemukan di infundibulum, isthmus, magnum, uterus dan vagina pada ayam SPF yang terinfeksi dan mengakibatkan kerabang tipis. Perlunya investigasi lebih lanjut mengenai sifat atau karakter virus yang sudah teridentifikasi di Indonesia baik dengan kajian melalui infeksi tunggal H9N2 ataupun berbarengan dengan penyakit pernafasan lainnya terutama virus IB yang sudah banyak diketahui keakrabannya.

Untuk mengantisipasi kerugian yang besar terhadap infeksi penyakit ini, maka meminimalkan stres lingkungan terutama yang berhubungan dengan program ventilasi optimal, kepadatan dan manajemen litter menjadi program wajib, karena H9N2 adalah virus LPAI yang menyebabkan gangguan pernafasan. Untuk meminimalkan kerugian akibat kolaborasi dengan penyakit lainnya seperti H5, ND, IB, MG, MS dan E. Coli maka kontrol yang tepat terhadap penyakit tersebut akan banyak membantu mengurangi kerugian produksi.

Berdasarkan pengalaman lapangan di atas dan berbagai pengalaman di negara lain, serta melihat kemiripan gejala klinis dan patologis pada ayam yang terifeksi IB, ND, H5 dan H9 di masa produksi. Sekaligus adaya kemungkinan infeksi gabungan keempat penyakit tersebut di lapangan adalah sangat besar, sehingga perlunya dilakukan diagnosa yang rinci dengan prinsip kehati-hatian untuk mendiagnosa kasus-kasus gangguan produksi telur. Diagnosa yang tepat dan menginvestigasi penyebab kemunculannya akan mengarahkan kepada penanganan yang lebih tepat dan spesifik ke depannya. (Sumarno)

Sumber: www.majalahinfovet.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>