FOKUS: Biosekuriti dan Vaksinasi Wajib Hukumnya

Cover Buku PANDUAN BIOSEKURITI PETERNAKAN UNGGAS 2019 Display

Biosekuriti dan Vaksinasi Wajib Hukumnya

 

Memiliki kandang closed house dengan segala peralatannya yang canggih tentunya menjadi idaman semua peternak. Namun semua akan terasa percuma apabila tidak didukung oleh manajemen biosekuriti dan vaksinasi yang baik dan benar.

Kandang closed house masih menjadi barang mahal bagi peternak Indonesia. Nilai rupiah yang diinvestasikan untuk closed house meskipun “worth it” tetap saja dibutuhkan pertimbangan matang dalam membangunnya. Akan sangat sempurna bila closed house juga dibarengi dengan manajemen pemeliharaan, biosekuriti dan vaksinasi yang baik. Di luar sana, tidak jarang peternak yang menerapkan biosekuriti yang baik dan tetap mendapatkan performa yang baik.

 

Selalu Ingat Biosekuriti

Di era non-AGP yang sudah berlangsung selama setahun lebih ini, peternak sudah pasti tahu dan mengerti bahwa performa di lapangan berkurang. Berbagai upaya dijajaki untuk mendapatkan performa yang baik, yang mampu membangun dan berinvestasi pada closed house, bagaimana dengan yang tidak?

Jangan buru-buru berkecil hati jika tidak dapat membangun closed house, ingat selalu bahwa penerapan biosekuriti yang baik juga akan mendongkrak performa. Fokus beternak adalah membuat hewan senyaman mungkin dan sesehat mungkin, sehingga performa mereka meningkat, baik layer maupun broiler.

Yang sering peternak lupakan yakni manajemen biosekuriti yang baik dan benar. Padahal dalam usaha budidaya unggas manajemen biosekuriti sudah seperti mengucap dua kalimat Syahadat dalam ajaran Islam. Wajib dilaksanakan dan sangat diutamakan karena merupakan benteng pertahanan utama dalam menghalau berbagai penyakit infeksius. Perlu diingat pula bahwa prinsip biosekuriti adalah langkah-langkah pengamanan biologik yang dilakukan untuk pencegahan menyebarnya agen infeksi patogen pada ternak.

Menurut dosen FKH UGM dan konsultan kesehatan unggas, Prof Charles Rangga Tabbu, biasanya kendala dari penerapan biosekuriti di lapangan adalah keengganan peternak sendiri. “Kemitraan, integrator, bahkan peternak mandiri besar mereka pasti punya staf kesehatan hewan, punya program kesehatan hewan, punya program biosekuriti dan lainnya, tetapi kenapa performa jelek kadang menyalahkan hal lain. Bisa dibilang aplikasinya di lapangan yang kurang oleh petugas kandangnya, entah karena malas, lupa, atau apapun itu, harusnya tidak bisa ditolerir seperti itu,” kata Charles kepada Infovet.

Ia menambahkan, “Dalam beternak, bukan pemberian obat, antibiotik, jamu dan lain sebagainya, yang penting itu bagaimana caranya ayam sehat. Percuma juga kalau kita kasih obat tapi performa enggak bagus, malah bahaya buat yang makan. Ini peternak yang sering mindset kaya gitu.”

Komentar Charles juga diamini oleh Drh Ardha Dimas dari PT Super Unggas Jaya. Menurutnya, diera non-AGP kini penerapan biosekuriti harus digalakkan. “Kemarin-kemarin masih ada AGP cukup terbantu peternak, namun karena peraturannya sudah begini, mau bagaimana? Ya dari dulu harusnya biosekuriti itu diaplikasikan dengan baik, bukan sekarang-sekarang saja,” ucap Ardha. Ia juga mengatakan, dirinya beserta perusahaan tidak henti-hentinya menggalakkan aplikasi biosekuriti yang baik pada peternak.

 

Biosekuriti Bukan Barang Mahal

Apa yang terlintas dalam benak ketika mendengar aplikasi biosekuriti yang baik? Rerata pasti membayangkan mesin penyemprot desinfektan ketika memasuki area peternakan. Tidak salah memang, karena salah satu SOP memang seperti itu. Ketika bicara mekanisasi, atau mesin, pastinya akan terbayang berapa rupiah yang harus di keluarkan peternak hanya untuk itu.

Padahal, aspek biosekuriti tidak harus dan identik dengan mahal. Misalnya salah satu mesin penyemprot desinfektan mahal harganya, namun apakah tidak bisa diakali? Lalu bagaimana sebaiknya mengakali problem mahal tersebut? Pasalnya, ketika seudah berbicara mengenai biaya yang harus dikeluarkan, orang Indonesia agak enggan membahasnya.

Menyosialisasikan biosekuriti bisa dibilang menjadi makanan sehari-hari bagi FAO ECTAD Indonesia. Hal tersebut diungkapkan oleh National Communication and EPT2 Partners Engagement Officer FAO ECTAD Indonesia, Andie Wibianto.

“Peternak, kalau hubungannya sama mengeluarkan uang itu memang susah, makanya kita komunikasi harus oke. Kami bilang ke mereka apakah mereka mau pendapatan dan performa ternak mereka meningkat, kalau mau kami bimbing, walaupun gitu ada yang mau ada juga yang enggak,” tutur Andie.

Memang sejak beberapa tahun lalu FAO sedang gencar dalam konsep biosekuriti tiga zona. Menurut mereka, konsep biosekuriti tiga zona merupakan salah satu cara efektif meningkatkan performa. “Ini enggak mahal, yang mas lihat kemarin di Lampung mungkin sedikit mewah, karena ada mesin dan sebagainya, tapi di Semarang ada peternak yang di sana kita bina, bisa dibilang lebih tradisional. Enggak banyak mesin dan budget yang di keluarkan tidak sampai ratusan juta,” katanya.

Lebih lanjut dikemukakan, “Asal konsep yang diberikan dijalankan, komitmen dari seluruh karyawan tentang kesehatan hewan kuat, bisa pasti. Sudah begitu, investasi yang di keluarkan juga tidak mahal dan bisa berlangsung lama.”

Catur Kuncara merupakan salah satu peternak layer binaan FAO di Karang Anyar yang mengimplementasikan biosekuriti tiga zona. “Saya dapat informasi dari peternak lain, dinas, sama FAO sendiri yang waktu itu sedang kampanye biosekuriti tiga zona, saya ikuti, implementasikan, sosialisasikan ke karyawan dan meminta komitmen mereka menjalankan hal ini, dan terima kasih sekali sekarang ayam di kandang jarang sekali terinfeksi penyakit, utamanya nyekrek (ngorok/CRD),” kata Catur.

Hal serupa dirasakan oleh Robby Susanto, peternak layer yang sudah lebih dulu mengadopsi sistem biosekuriti tiga zona sebelum Catur. “Awalnya sulit, karyawan bilang agak ribet, namun lama-kelamaan terbiasa dan performa lebih stabil ketimbang sebelumnya,” jelas Robby.

Ia menilai, sistem tiga zona ini tidak mahal, contohnya ketika berpindah dari zona satu ke yang lain karyawan tidak menggunakan sepatu bot yang berbeda, ia hanya menggantikan sepatu bot dengan sandal jepit. Desinfektan yang digunakan juga sederhana, tidak yang bermerk lokal, hanya berupa pemutih pakaian yang dicampur 1:10 dengan air, selain itu penggunaan obat berupa antibiotik atau yang lainnya juga berkurang karena ayam jarang sakit, tentunya sangat ekonomis.

Terkait performa, Robby mengatakan sebelum aplikasi biosekuriti yang baik, 1.000 ekor ayam menghasilkan 40-50 kg telur tiap harinya, namun setelah aplikasi biosekuriti tiga zona dijalankan kini produksinya naik 50-60 kg per 1.000 ekor ayam.

 

Diimbangi dengan Program Vaksinasi Tepat

Vaksinasi adalah bagian dari biosekuriti, seperti diketahui, vaksinasi dilakukan untuk membuat ayam kebal terhadap serangan penyakit. Pembahasan mengenai vaksinasi juga tidak ada habisnya. Perlu menjadi perhatian bersama bahwa keberhasilan vaksinasi bukan hanya ditentukan dari kualitas produk yang digunakan, namun ada faktor lain yang juga penting, yakni ketepatan teknik dan metode vaksinasi.

Pada dasarnya setiap makhluk hidup, memiliki sistem pertahanan tubuh alami di dalam tubuhnya. Ayam memiliki dua sistem pertahanan tubuh, yaitu primer (non-spesifik) dan sekunder (spesifik).

Prinsipnya, jika ayam sakit atau menunjukan gejala sakit, hal itu menjadi pertanda bahwa bibit penyakit telah berhasil menembus benteng pertahanan ayam. Meski di luar tubuh ayam masih ada dua benteng pertahanan seperti lingkungan peternakan dan kandang, namun apabila jumlah bibit penyakit yang berhasil masuk sangat banyak dan tingkat keganasannya tinggi, maka kemungkinkan benteng di dalam tubuh ayam akan kalah. Oleh karenanya, ayam perlu divaksinasi agar organ kekebalan di dalam tubuhnya dapat merespon tantangan penyakit tersebut.

Penulis mengingatkan, bahwa faktor 4M meliputi Materi (ayam dan vaksin), Metode, Mileu/lingkungan dan Manusia, berperan penting dalam mencapai keberhasilan vaksinasi. Jika satu dari keempat faktor tersebut cacat, maka hampir bisa dipastikan efek dari vaksinasi tidak akan tepat.

Menurut General Manager Veterinary Biologicals PT Sanbio Laboratories, Drh Arini Nur Handayani, ada beberapa hal yang membuat vaksinasi tidak maksimal, yakni tidak sesuai jadwal/program, persiapan dan penanganan vaksin tidak maksimal, peralatan rusak atau tidak steril, tidak tepat dosis, aplikasi tidak sesuai dengan target, kualitas air kurang baik dan vaksinasi tergesa-gesa dan kasar.

“Beberapa kesalahan yang mainly diakibatkan oleh manusia sering terjadi dalam vaksinasi, oleh karenanya kita harus lebih telaten dalam vaksinasi, ini penting kalau tidak vaksinasinya bisa gagal, bisa mengakibatkan turun performa dan produksi, bahkan mortalitas bisa tinggi,” kata Arini.

Ia menambahkan, jika beberapa hal tersebut dapat dilakukan dengan baik, maka ia menjamin program vaksinasi akan berhasil. Selain itu, Arini juga mengingatkan bahwa dalam vaksinasi, ayam harus benar-benar dalam kondisi sehat agar organ penghasil sel kebal dalam kondisi terbaik, vaksinasi berhasil dan juga mengurangi shedding dari agen penyakit.

Dengan menerapkan biosekuriti yang baik dan vaksinasi yang tepat saja peternak sudah diuntungkan, apalagi jika ditambah dengan kondisi kandang yang nyaman berupa closed house. Oleh karena itu, jika tidak punya banyak dana dalam membangun closed house, aplikasi biosekuriti yang baik, manajemen pemeliharaan yang apik, serta program vaksinasi yang ciamik harus ada di dalam suatu peternakan agar performa selalu terjaga. (CR)

Sumber: www.majalahinfovet.com dan Buku PANDUAN BIOSEKURITI PETERNAKAN UNGGAS PASCA PELARANGAN AGP

Harga buku : Rp. 100.000 belum termasuk ongkir.

Pesan buku Hubungi:

Wawan : 0856 8800 752

Achmad : 0896 1748 4158

Alamat : Jln. Rawa Bambu, Gedung ASOHI – Grand Pasar Minggu No.88 A, Jakarta Selatan 12520 Telp : 021-782 9689, Fax : 021-782 0408 No. Rek : PT Gallus Indonesia Utama BCA : 733 030 1681 MANDIRI : 126 000 2074 119

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>