FOKUS: Berlomba Memacu Performa Genetik di Era Non Antibiotik

Berlomba Memacu Performa Genetik di Era Non Antibiotik

Berlomba Memacu Performa Genetik

di Era Non Antibiotik

 

Bicara perkara pelarangan AGP (Antibiotic Growth Promoter) pada pakan unggas seakan tidak ada habisnya. Pasalnya, setiap peternak banyak mengeluh mengenai performa yang kian anjlok. Apakah benar begitu adanya? Bagaimana agar performa stabil di era non-AGP?

Sejarah mencatat bahwa Indonesia melakukan impor ayam broiler secara komersil pada tahun 1967. Sejak saat itu usaha budidaya ayam broiler, baik skala kecil maupun besar terus berkembang hingga saat ini. Pada era tersebut, ayam broiler perkembangannya belum secepat ayam broiler zaman now. Namun kini, seiring dengan kemajuan zaman dan teknologi, ayam broiler dapat dipanen kurang dari 30 hari dengan bobot badan lebih dari 1.000 gram. Sejalan dengan ayam broiler, ayam petelur atau biasa disebut layer juga mengalami hal serupa. Produksi ayam petelur zaman old versus zaman now tentunya sangat berbeda.

Bahkan karena cepatnya kedua jenis unggas tersebut berkembang, tidak jarang kalangan peternakan mendengar isu-isu miring mengenai hal tersebut. Mulai dari ayam disuntik hormon, obat kuat, sampai yang agak aneh mengenai telur palsu (plastik). Tentunya isu-isu miring seperti ini kian membuat gerah kalangan peternakan di Tanah Air.

 

Kemajuan Genetik

Jika masyarakat rajin membaca apalagi mengunjungi laman web para “provider” bibit-bibit ayam di luar negeri, mereka akan paham bahwa ayam modern dapat berkembang begitu cepat karena teknologi di bidang genetika. Bukan dari modifikasi genetik, melainkan pemuliaan demi pemuliaan yang dilakukan oleh para provider di laboratorium mereka masing-masing.

Hasilnya? Setelah lebih dari 100 tahun penelitian lahir lah ayam-ayam zaman sekarang yang perkembangannya sangatcepat. Menurut Prof Burhanudin Sundu, Guru Besar sekaligus Dekan Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas Tadulako, ayam-ayam modern adalah “monster” yang sebenarnya.

“Bukan monster yang suka makan orang ya, tapi dari segi pertumbuhannya. Coba bayangkan, seekor DOC yang awalnya bobot badannya kurang lebih 40 gram, dalam 30 hari menjadi 1,5 kilogram bahkan ada yang hampir 2 kilogram. Itu kan artinya mereka menjadi besar sebanyak 150 kali lipat hanya dalam sebulan,” ujar Prof Burhanudin.

Begitu pula dengan ayam petelur, potensi bertelurnya setiap tahun akan terus meningkat seiring perkembangan di bidang genetika. “Kalau tidak percaya coba cari dan bandingkan misalnya performance ayam-ayam Cobb sebelum tahun 2000 sampai sekarang tahun 2018 ini, pasti berbeda,” tuturnya.

Namun begitu, lanjut Prof Burhanudin, tidak ada mahluk yang superior di dunia ini. “Ayam zaman now memang sangat superior dalam bidang performa produksi, namun sebagai kompensasinya gen-gen kekebalan terhadap penyakit yang ada pada tubuh mereka tidak se-superior performance-nya, sehingg aayam zaman now mudah sekali terserang stres dan penyakit,” jelasnya.

 

Jangan Terpaku pada Genetik

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa genetik merupakan faktor penting yang menentukan dalam performa suatu individu. Bibit dengan kualitas yang baik pastilah akan menghasilkan performa yang baik pula, namun dalam hal ini syarat dan ketentuan berlaku. Menurut Ketua Umum (Ketum) Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (GOPAN) Herry Dermawan, genetik yang baik apabila tidak ditunjang dengan tata-cara pemeliharaan yang baik pula hasilnya akan buruk.

Ia mengatakan, bahwa pertumbuhan unggas 30% dipengaruhi faktor genetik, justru 70% merupakan faktor lingkungan seperti aspek kualitas pakan ternak, udara, kondisi kandang, serta tingkat stres. “Mungkin saya bukan dokter hewan atau ahli genetika, tapi dengan pengalaman yang saya dapat di lapangan serta banyak diskusi dengan para ahli kesehatan ternak, saya jadi banyak ilmu,” ucapnya.

Herry juga mengatakan bahwa terkait aspek pemeliharaan ia pernah mendengar dari beberapa pakar bahwa memang sebenarnya ayam modern akan menunjukkan performa terbaiknya di kandang closed house. “Kalau itu saya percaya banget, soalnya ketika menyambangi closed housed saya liat recording-nya, hasilnya sangat bagus, tapi yaitu mahal, investasinya sangat mahal,” papar Herry. Pada kenyataannya, peternak skala UMKM di Indonesia masih banyak menggunakan kandang tipe terbuka, sehingga sedikit-banyak iklim dan cuaca menjadi faktor penting dalam keberhasilan pemeliharaan.

Yang tidak kalah penting juga dalam menunjang performa ayam adalah pakan, dengan asupan gizi yang baik, performa ayam dijamin juga akan baik. Pasalnya, sejak AGP dilarang sepertinya belum ditemukan formula paten yang dapat menggantikan keberadaan AGP di dalam pakan.

Direktur Kesehatan Hewan, Fadjar Sumping Tjatur Rasa, mengatakan, hingga kini belum ada riset di industri peternakan global yang lebih baik ketimbang AGP. Karenanya, Fadjar mengatakan pelarangan AGP bagi imbuhan pakan harus disertai kesadaran pemangku kepentingan terutama peternak agar lebih baik dalam mengimplementasikan konsep biosekuriti tiga zona.

“Konsep biosekuriti tiga zona ini merupakan konsep yang sangat bagus, namun yang kurang hanya implementasinya saja saya rasa,” kata Fadjar kepada awak Infovet. Ia menekankan, bahwa penerapan biosekuriti yang baik setidaknya wajib dilakukan oleh peternak di masa kini.

Ketika ditanya mengenai keterlibatan dinas terkait mengenai biosekuritas di tingkat peternak, Fadjar menjawab, bahwa seluruh dinas terkait telah diwajibkan oleh Kementerian Pertanian khususnya Direktorat Kesehatan Hewan agar melakukan monitoring dan surveilans mengenai biosekuriti. “Mungkin bentuknya hanya seperti penyuluhan, tapi saya ingin kegiatannya berkelanjutan. Masalahnya kendalanya di situ kan banyak, kita juga jadinya sulit. Akhirnya kan balik lagi ke peternak. Mau bagus? Jaga biosekuriti dong,” tuturnya.

Memang sulit menjaga performa ternak unggas di era non-AGP ini. Ketika AGP tidak boleh dipakai, suka atau tidak harus dicari bahan substitusinya, sementara harga dari imbuhan pakan non-AGP yang cukup mahal dengan hasil yang kebanyakan tidak lebih baik daripada AGP.

Sering sekali penulis mendengar keluh-kesah peternak akibat penurunan performa ternaknya yang menurun akibat pakan yang dipakai tidak sebagus ketika era AGP masih diperbolehkan. Apakah peternak harus menyerah? Tentu saja tidak. Peternak hanya belum terbiasa dengan keadaan ini. Dengan membiasakan diri menerapkan tindakan positif di peternakan masing-masing, maka lama kelamaan peternak akan terbiasa dengan kondisi seperti ini. Juga perlu diingat bahwa kualitas bibit yang bagus saja apabila dirawat secara minimalis hasilnya tidak akan maksimalkan. (CR)

Sumber: www.majalahinfovet.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>