Fokus: MODERNISASI SISTEM BUDIDAYA PETERNAKAN

chickdrinking_forweb

MODERNISASI SISTEM BUDIDAYA PETERNAKAN

Ditengah gempuran tumpang tindihnya kebijakan yang diambil Pemerintah, ancaman masuknya berbagai produk impor, kelangkaan suplai bahan baku pakan dan tuntutan untuk terlaksananya tata niaga yang berkeadilan, dipercaya industri perunggasan di Indonesia tetap tumbuh positif meskipun mengalami perlambatan. Mengingat sangat besarnya pangsa pasar konsumen di Republik ini.

Sebagaimana diungkapkan Sudirman (GPMT) di sebuah forum di Kementerian Perdagangan belum lama ini. Menurut Sudirman, meski tumbuh positif, industri perunggasan tanah air dinilai masih lemah dalam hal efisiensi dan daya saing.

Ia mengatakan industri perunggasan Indonesia harus mendongkrak efisiensi dan daya saing. Salah satunya dengan modernisasi dari sektor hulu hingga ke hilir. Mengadopsi teknologi adalah salah satu kunci utama meraih target efisiensi. Di hulu, pilihan aplikasi kandang sistem Closed House (kandang tertutup) menjadi kewajiban sebagai bentuk modernisasi demi efisiensi untuk memenuhi tuntutan pasar, memenangi persaingan, dan menyiasati gejolak perubahan iklim.

Dari pengamatannya, lanjut Sudirman, sejak 5 tahun terakhir, tren investasi Closed House tumbuh dengan sangat cepat. “Ini menggembirakan, banyak sekali peternak yang membangun Closed House atau mengkonversi kandangnya menjadi kandang yang lebih modern,” katanya.

Hal tersebut juga diamini peternak yang juga perintis penggunaan kandang Closed House dari Tasikmalaya, Drh Teguh Budi Wibowo. Menurut Teguh, dulunya diawali saat mendengar isu tentang global warming.

“Tanggapan saya sebagai orang Indonesia pada umumnya merasa para ahli luar negeri terlalu lebay dan tidak terpikir akan ada efek terhadap pekerjaan saya sebagai peternak ayam. 10 tahun lalu saya merasakan pekerjaan saya di peternakan ayam broiler makin berat dengan memanasnya suhu bumi dan ketidakteraturan cuaca serta perbedaan suhu siang dan malam yang terlalu lebar sehingga sangat menyulitkan pemeliharaan ayam broiler,” ujar Teguh melalu akun media sosialnya.

“Sejak 10 tahun lalu saya menawarkan konsep kandang ayam sistem Closed House dengan Climate Control kepada beberapa boss di bidang perayaman, namun tidak pernah mendapat respon malah cibiran saja yang didapatkan. Pertanyaan mereka dengan modal yang sangat besar ini apakah bisa balik modal. Sampai pada tahun ini saya tawarkan konsep ini kepada keluarga saya (ibu dan adik-adik saya) entah karena kasihan atau emang tertarik pemaparanku mereka mau membiayai mega proyekku. Di saat yang sama dua orang temanku kuliah mau memberikan dana untuk proyek yang sama,” terang Teguh.

Setelah berjalan 18 bulan dan memberi hasil positif baru banyak orang bertanya tentang konsep kandang ini dan ingin berinvestasi. Namun rata-rata mereka hanya tertarik dari hasil yang didapat.

 

Produksi Optimal Hasil Maksimal

Penjelasan lebih detail diutarakan Teddy Chandra dari PT Unigro Artha Persada. Menurut Teddy, kandang Closed House adalah kandang dengan sistem tertutup dari lingkungan luar, dimana kondisi lingkungan (suhu, kelembaban, sirkulasi udara dan kadar zat aktif) di dalam kandang dapat diatur sesuai dengan kebutuhan ayam dari umur satu hari sampai dengan waktu panen.

“Jadi kandang Closed House berhubungan besar dengan sirkulasi udara/ventilasi di dalam kandang. Kandang closed house di desain sedemikian rupa sehingga aliran udara di dalam kandang mengikuti azas laminar air flow. Cara kerjanya, dengan adanya inlet dan outlet. Inlet mencakup cooling pad (corrugated paper) yang dialiri air bersih (mengandung O2 yang cukup) sebagai jalan masuknya udara dari luar ke dalam kandang. Sedangkan outlet, mencakupi exhaust fan (kipas hisap) dengan motor 3 phase dan kontrol panel untuk pengaturan jalannya exhaust dan cooling pad tersebut sehingga aliran udara/kecepatan angin dan zat-zat beracun dapat dikontrol dengan baik. Dengan kondisi tersebut, ayam akan merasa nyaman dan dapat menekan kematian dan meningkatkan pertumbuhan ayam sesuai dengan potensial genetiknya,” terang Teddy.

Kandang Closed House dibuat untuk memperbaiki kekurangan yang ada pada sistem Open House. Seperti kondisi di dalam kandang dapat diatur sesuai dengan kebutuhan ayam sehingga membuat performa dan produksi ayam lebih optimal. Kemudian kecepatan angin dapat diatur sesuai kebutuhan ayam sehingga zat-zat beracun di dalam kandang dapat dikeluarkan dengan sempurna dan ayam selalu mendapatkan oksigen yang cukup dan bersih.

Jika menggunakan kandang Closed House, kepadatan ayam per meter persegi dapat dioptimalkan, sehingga hasil per meter persegi akan lebih berat dan seragam dengan didukung oleh kondisi dalam kandang dan management pemeliharaan yang baik. Dan dapat mengoptimalkan lahan yang terbatas dengan cara Closed House bertingkat.

Sudirman berpendapat, peternak yang tidak mau mengarah ke Closed House secara alami akan tersingkir pelan-pelan. Sebab persaingan saat ini lebih ditentukan kepada faktor efisiensi dan kemauan untuk berubah sesuai perkembangan jaman. Catatannya, teknologi tinggi ini perlu dibarengi cara berpikir dan manajemen yang baik.

“Closed House memberikan jaminan efisiensi. Dari kepadatan populasi saja, Closed House mampu lebih efisien. Kandang open maksimal hanya mampu memelihara 10 ekor/m², sementara kandang tertutup mampu 15 ekor/m². Belum penghematan lainnya, dari pakan, periode siklus, sampai kesehatan ayam,” jelas Sudirman.

Teguh Budi Wibowo menambahkan “Dengan nilai investasi lebih tinggi dari open house, tetapi dengan hasil yang baik akan membuat ROI (return of investment) lebih cepat kembali dan lebih menguntungkan bagi peternak. Serta dampak terhadap lingkungan akan lebih sedikit dikarenakan polusi bau dan debu akan berkurang dan terkonsentrasi pada satu tempat, sehingga peternak dapat mengatur dan mengolahnya dengan baik,” imbuh.

Memang pembuatan kandang Closed House memakan biaya yang lebih tinggi dibanding kandang Open House. Oleh karena itu, nilai investasi masih kurang terjangkau oleh peternak kecil di Indonesia, serta diperlukannya orang-orang yang punya dedikasi pada bidangnya untuk menjalankan kandang Closed House, agar tidak timbul banyak masalah.

 

Modernisasi Persusuan

Tak sekadar di budidaya unggas, modernisasi juga menyentuh dan memaksa sektor persusuan untuk berubah seiring perkembangan jaman. Namun usaha peternakan sapi perah  erat kaitannya dengan usaha masyarakat desa yang berpola peternakan tradisional. Tradisional disini berarti rendahnya tingkat adopsi teknologi modern yang ada dalam usaha peternakan atau tidak adanya pengakuan atas teknologi yang digunakan dalam kegiatan operasional.

Umumnya peternak sapi perah yang berpola pikir tradisional cenderung membatasi diri dalam mengembangkan pola peternakan mereka. Sehingga kemajuan usaha peternakan tradisional ini seakan diam di tempat. Pernyataan tersebut dikondisikan berdasarkan sudut peningkatan jumlah populasi, tingkat produksi, dan yield milk.

Mereka tetap berada dalam lingkungan persaingan usaha karena anggapan mereka peternakan tradisional masih cukup menguntungkan dengan prospek yang menjanjikan. Para peternak merasa sangat yakin sekali bahwa ternak sehat berarti mereka juga ikut sehat. Ketangguhan tradisionalisme dalam bersaing dengan modernisasi menjadikan pola ini meregenerasi. Dikatakan tangguh alasannya bahwa peternakan tradisional tidak kenal dengan istilah gulung tikar.

Pola tradisional yang ada dalam usaha peternakan sapi perah membuat komunitas peternak selalu merasa berada pada level paling bawah dalam ruang lingkup tingkatan usaha peternakan. Kesederhanaan yang mereka miliki saat ini cenderung mengarah pada tradisi (regenerasi) dengan dunia peternakan masa lalu.

Pun begitu, saat ini selalu ada generasi baru yang mencoba mendobrak tradisi tersebut. Contohnya seperti dua peternak sapi perah muda Adieb Iryanto dan Denny Mahakara dari Desa Cikahuripan, Kampung Pojok Girang, Lembang, Bandung.

Mereka yang tak sengaja kecemplung di dunia sapi perah karena melanjutkan usaha orang tua ini, mau tak mau harus berpikir kreatif untuk menyelamatkan dan bahkan mengembangkan usaha sapi perah yang selama ini menggunakan pola pemeliharaan tradisional.

Sebagaimana disampaikan Denny yang telah selama 14 tahun bergulat dengan kerasnya bisnis sapi perah. Ia baru bisa merasakan nikmatnya usaha ini beberapa tahun belakangan ini. “Selama 14 tahun jatuh bangun, dimana ketika harga pakan naik, musim kemarau panjang, kita selalu berusaha bisa survive. Alhamdulillah, empat tahun belakangan ini gurihnya susu bisa saya rasakan, dan hasilnya bisa untuk menyongsong masa depan, baik untuk usaha saya sendiri maupun keluarga,” katanya dengan bangga.

Soal sentuhan teknologi dan modernisasi Denny dan Adieb yang sama-sama penerima program beasiswa dari sebuah korporasi Koperasi peternak sapi perah di Selandia Baru yang bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) mengaku sangat terbantu dalam membuka pengetahuan dan wawasan mereka sebagai peternak.

Melalui program beasiswa ini para peternak sapi perah diajak mengunjungi industri peternakan sapi perah di New Zealand untuk belajar dan menambah wawasan tentang bisnis sapi perah. Denny dan Adieb yang menjadi peserta program tersebut pada tahun lalu, mengaku sangat beruntung terpilih mengikuti program tersebut.

“Dari program tersebut saya belajar, dari yang dulunya masih menggunakan sistem konvensional/tradisional, setelah mengikuti program ini menjadi terbuka sendiri wawasan dan spirit saya, bahwa masih banyak peluang untuk mengembangkan ternak sapi perah ini,” ungkap Denny.

Dari situ, lanjutnya, ia banyak mendapat ilmu dan pengetahuan mengenai industri sapi perah yang bisa diterapkan di peternakannya. “Memang seluruh pelajarannya tidak bisa diaplikasikan semua di Indonesia, mengingat letak geografis, sistem ternak, iklim dan penggunaan teknologi di New Zealand dan Indonesia berbeda. Namun dari program ini saya mendapat banyak ilmu dan pengetahuan, serta teman baru untuk sharing bisnis sapi perah,” tambah Adieb melengkapi statement Denny yang peternak tetangganya itu.

Lebih lanjut, Denny dan Adieb sudah menyusun perencanaan kedepan untuk menunjang kemudahan dalam pengembangan usahanya. Ke depan mereka ingin memiliki mesin perah susu otomatis agar susu yang dihasilkan lebih terjamin kebersihan dan keamanannya. Selain juga meningkatkan penerapan higienitas di farmnya. Ditambah dengan penyediaan pakan hijauan yang berkualitas sesuai kebutuhan setiap periode pemeliharaan.

“Rencana ke depan saya ingin sekali menggunakan mesin perah. Karena saya pikir kalau populasi lebih dari 40 ekor harus membutuhkan bantuan teknologi untuk mempermudah usaha. Karena mencari tenaga kerja di sini agak susah. Dengan adanya teknologi itu pengerjaannya tentu akan lebih cepat dan lebih higienis,” harapnya.

Selain itu, Denny juga berencana untuk menambah jumlah populasinya. “Secara bertahap saya juga akan menambah populasi, namun lagi-lagi kendalanya di lahan, mungkin untuk itu akan melakukan kerjasama lahan lagi. Itu rencana jangka panjang,” tukasnya.

“Kalau saya akan mengembangkan usaha pengolahan susu seperti yoghurt, susu pasteurisasi bermacam rasa untuk meningkatkan pendapatan. Jadi tidak hanya bergantung pada penjualan susu segar saja,” pungkas Adieb. (wan/rbs)

Sumber: www.majalahinfovet.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>