FOKUS: Pakan Bebas Toksin Performa Terjamin

Pakan Bebas Toksin Performa Terjamin

Pakan Bebas Toksin Performa Terjamin

 

Apa yang terbersit oleh semua orang ketika mendengar kata toksin? Sudah pasti mereka membayangkan suatu zat yang berbahaya. Hal yang sama juga berlaku dalam dunia pakan ternak, berbagai jenis toksin siap mengontaminasi pakan ternak.

 

Dalam dunia medis, toksin diartikan sebagai zat beracun yang diproduksi di dalam sel atau organisme hidup, dunia veteriner sepakat menggunakan terminology biotoksin, karena toksin diproduksi secara biologis oleh mahluk hidup memalui metabolisme bukan artificial (buatan).

Dalam dunia pakan ternak sering kali didengar istilah mikotoksin (racun yang dihasilkan oleh cendawan/kapang/jamur). Hingga kini kontaminasi mikotoksin dalam pakan ternak masih menjadi momok yang sangat menakutkan, tidak hanya di Negeri ini tetapi juga di seluruh dunia.

 

Mikotoksin, Klasik dan Berbahaya

Setidaknya ada tujuh jenis mikotoksin yang menjadi “tokoh utama”, mereka sering kali mengontaminasi pakan dan menyebabkan masalah pada ternak. Singkatknya seperti dijabarkan pada Tabel 1. berikut ini.

 

Tabel 1. Ragam Jenis Mikotoksin

No.

Jenis Toksin

Organisme Penghasil Toksin

Efek Terhadap Ternak & Manusia

1

Aflatoksin Aspergillusflavus, Aspergillusparasiticus Penurunan produksi, imunosupresi, bersifat karsinogen, hepatotoksik

2

Ochratoksin Aspergillusochraceus Penurunan produksi, kerusakan saraf dan hati

3

Fumonisin Fusarium spp. Penurunan produksi, kerusakan ginjal dan hati, gangguan pernafasan

4

Zearalenon Fusariumgraminearum, Fusariumtricinctum, Fusariummoniliforme Mengikat reseptor estrogen (feminisasi), menurunkan fertilitas

5

Ergot Alkaloid Clavisepspurpurea Penurunan produksi pertumbuhan, penurunan produksi susu, penurunan fertilitas

6

Deoxynivalenol (DON)/Vomitoksin Fusarium spp. Penurunan produksi, kerusakan kulit

7

T-2 Toksin Fusarium spp. Penurunan produksi, gastroenteritis hebat

Sumber: Mulyana, 2013.

 

Menurut Drh Sudirman, mantan Ketua Umum GPMT (Gabungan Perusahaan Makanan Ternak), masalah mikotoksin merupakan masalah klasik yang terus berulang dan sangat sulit diberantas. “Banyak faktor yang mempengaruhi kenapa mikotoksin sangat sulit diberantas, misalnya saja dari cara pengolahan jagung yang salah,” ujar Sudirman.

Maksudnya adalah, di Indonesia kebanyakan petani jagung hanya mengandalkan iklim dalam mengeringkan hasil panennya, dengan bantuan sinar matahari/manual, biasanya petani menjemur jagung hasil panennya. Mungkin ketika musim panas hasil pengeringan akan baik, namun pada musim basah (penghujan), sinar matahari tentu tidak bias diandalkan. “Jika pengeringan tidak sempurna, kadar air dalam jagung akan tinggi, sehingga disukai oleh kapang. Lalu kapang akan berkembang di situ dan menghasilkan toksin,” tuturnya.

Masih masalah iklim menurut Sudirman, Indonesia yang beriklim tropis merupakan wadah alamiah bagi mikroba termasuk kapang dalam berkembang biak. “Penyimpanan juga harus diperhatikan, salah dalam menyimpan jagung artinya membiarkan kapang berkembang dan meracuni bahan baku kita,” kata Sudirman.

Menurut data dari FAO pada 2017, sekitar 25% tanaman biji-bijan di seluruh dunia tercemar oleh mikotoksin setiap tahunnya. Kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tercemarnya bahan baku pakan dan pangan oleh mikotoksin berupa penurunan produksi daging dan telur unggas, penurunan produksi bahan pakan dan pangan, penurunan performa ternak, serta meningkatknya biaya kesehatan akibat mikotoksikosis pada hewan dan manusia.

“Di Amerika dan Kanada saja kerugian akibat tercemarnya mikotoksin mencapai USD 225 milyar, bayangkan betapa merugikannya mikotoksin ini, oleh karenanya kita harus selalu waspada,” imbuhnya. Tak lupa Sudirman mengingatkan kembali bahwa sifat alamiah dari mikotoksin adalah tahan terhadap suhu tinggi, sehingga “awet” pada kondisi pelleting saat proses pembuatan pakan dan sangat sulit untuk dieradikasi.

Sudirman juga menilai bahwa pemerintah harus serius dalam menangani hal ini, karena tidak hanya berbahaya bagi hewan, tetapi juga bagi manusia. “Saya ingin mengingatkan pemerintah, stakeholder, serta pihak terkait mengenai masalah ini, please jangan dianggap remeh, efeknya seperti gunung es dan berkesinambungan pada kesehatan hewan maupun manusia,” tukasnya.

 

Toksin Bakteri

Mikroorganisme yang dapat menghasilkan toksin bukan hanya kapang, beberapa spesies bakteri juga dapat menghasilkan toksin. Sebut saja Salmonella tyhphimurium, Vibrio parahaemolythicus, Clostridium perfringens, merupakan beberapa jenis bakteri yang dapat menghasilkan toksin.

Fungsi dari toksin yakni sebagai alat untuk merusak sel inang dan mendapatkan nutrisi yang diperlukan dari sel inangnya. Toksin yang berasal dari bakteri adalah komponen racun terlarut yang diproduksi oleh bakteri dan menyebabkan pengaruh negatif terhadap sel-sel inang dengan cara mengubah metabolisme normal dari sel inang tersebut. Toksin yang dihasilkan oleh bakteri ini bias dibedakan atas dua jenis, yaitu endotoksin dan eksotoksin.

Endotoksin adalah toksin yang merupakan bagian integral dari dinding sel bakteri gram negatif seperti E. coli, Salmonella, Shigella dan Pseudomonas. Endotoksin dihubungkan dengan keberadaan lipopolisakarida (LPS). LPS merupakan komponen penyusun permukaan dari membran terluar bakteri gram negatif.

Gejala penyakit karena aktivitas endotoksin terjadi ketika bakteri mati (misalnya karena aktivitas antimikroba, aktivitas phagosit atau obat antibiotika) dan mengalami lisis sehingga LPS akan dilepas ke lingkungan. Endotoksin akan member efek negatif jika terdapat dalam jumlah yang cukup besar (>100 μg). Karena bersifat non-enzimatis, maka mekanisme reaksinya tidak spesifik. Endotoksin menyerang sistem pertahanan tubuh menyebabkan demam, penurunan kadar zat besi, peradangan, pembekuan darah, hipotensi dan sebagainya.

Eksotoksin merupakan komponen protein terlarut yang disekresikan oleh bakteri hidup pada fase pertumbuhan eksponensial. Pada kondisi ini, walaupun bakterinya tidak ada, toksin akan menyebabkan keracunan pangan jika masuk kesaluran pencernaan. Produksi  toksin ini biasanya spesifik pada beberapa spesies bakteri tertentu (baik gram positif maupun negatif) yang menyebabkan terjadinya penyakit terkait dengan toksin tersebut. Sebagai contoh, toksin botulin hanya dihasilkan oleh Clostridium botulinum.

 

Tabel 2. Perbedaan Endotoksin dan Eksotoksin Bakteri

No

Eksotoksin

Endotoksin

1

Diproduksi oleh sel bakteri hidup, konsentrasinya tinggi dalam media cair Diproduksi oleh sel bakteri yang telah mati

2

Tersusun atas molekul polipeptida Tersusun atas lipopolisakarida kompleks, dimana gugus lemak merupakan penentu tingkat toksisitasnya

3

Relatif tidak stabil pada pemanasan, rusak pd >60°C, toksin akan kehilangan daya toksisitasnya Masih stabil pd 60°C selama dua jam tanpa mengubah daya toksisitasnya

4

Bersifat antigenik: mampu menstimulasi pembentukan antibodi. Mampu merangsang pembentukan antitoksin Tidak bersifat antigenik, tidak mampu menstimulasi pembentukan antitoksin. Hanya mampu membentuk antibodi terhadap gugus polisakaridanya

5

Bisa dibuat toksoid dengan penambahan formalin, asam, pemanasan, dll. Tidak dapat dibuat toksoid

6

Mempunyai sifat toksisitas tinggi, fatal pada hewan coba pada dosis yang sangat kecil. Dosis rendah sudah mampu menimbulkan gejala Lebih ringan, pada dosis tinggi fatal. Diperlukan dosis tinggi untuk dapat menimbulkan gejala

7

Tidak menimbulkan demam pada inang Menimbulkan demam pada inang

Sumber: Mulyana, 2013.

 

Guru besar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gajah Mada, sekaligus konsultan perunggasan, Prof Charles Rangga Tabbu, turut angkat bicara mengenai masalah ini. Menurutnya, masalah toksin bakteri di Indonesia hingga saat ini belum banyak terpikirkan.

“Memikirkan mikotoksin saja kita masih ketar-ketir, apalagi bakterial toksin? Saya pun begitu suka lupa kalau ada toksin dari bakteri. Bukannya hal kaya gini enggak penting loh,” kata Prof Charles. Ia melanjutkan, bahwa jika menghadapi bakteri saja, mindset para peternak maupun dokter hewan pasti akan terfokus pada bagaimana mengeliminasi bakteri tersebut dengan antibiotik, setelah itu clear.

“Padahal beberapa jenis bakteri kan memproduksi toksin setelah dia mati toh? Kita sering lupa disitunya, yang kita fokuskan ke bakterinya terus, kebanyakan kan begitu,” tutur Prof Charles. Ketika ditanya mengenai solusi mengatasi toksin bakteri, Prof Charles menjawab sambil sedikit berkelakar.

Wah, kalau beginian sih saya bukan ahlinya ya, tetapi setahu saya beberapa sediaan telah ada di pasaran sebagai pengikat toksin bakteri. Enggak usah saya sebut merk ya, biasanya pengikat toksin bakteri bahan aktifnya hampir sama dengan mikotoksin, ada yang pakai mineral yang diaktifasi, ada juga yang pakai yeast cell wall,” tutur Prof Charles.

Kendati demikian, Prof Charles tidak berani menyebutkan mana yang lebih efektif dari kedua sediaan itu. Pun begitu, ia menghimbau kepada para petugas kesehatan hewan di farm, konsultan teknis dan lain sebagainya, terutama yang berkecimpung di dunia kesehatan unggas, agar lebih mengutamakan pencegahan daripada pengobatan.

“Sulit Mas kalau sudah kena toksin (mikotoksin dan toksin bakteri), sebaiknya kita cegah sejak dini. Jagalah itu kandang kebersihannya terutama breeder, pakan juga kualitasnya harus selalu dicek, kalau perlu sampai ke supplier bahan bakunya juga dikontrol. Karena kalau enggak gitu, kena kita, udah gitu enggak ada obatnya, intinya ayo kita jaga deh ayam-ayam kita supaya enggak keracunan,” kata Prof Charles menutup pembicaraan. (CR)

 Sumber: www.majalahinfovet.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>